My Name is Ahmad MQ

Aku masih sangat muda saat itu...
Aku terlahir dari kedua orang tua yang hidup ditengah pesantren, umiku adalah pengasuh pesantren kecil yang hanya memiliki santri tidak lebih dari 15 santriwati, sedangkan bapakku ikut membantu umiku mengelola pesantren. Dalam menjalankan roda perekonomian pesantren, umiku berdagang jamu, aku masih ingat seminggu sekali, aku diajak mbak-mbak santri berbelanja bahan jamu di dekatnya kampus Unair naik sepeda dan tak lupa aku sering mengambil permen yang biasa disediakan berbentuk bulat warna hijau dan diluarnya terdapat butiran gula. Dan ada pula permen yang berwarna hitam, kalau tidak salah rasanya asam tapi manis.
Saat SD masuk mulai tahun 1994 hingga tahun 2000 aku menjadi salah satu siswa yang paling bodoh dengan nilai raport penuh angka merah, angka yang paling bagus di raportku 8 itupun tidak sering muncul, guru wali lebih sering memberi angka 5-6 untuk raportku, aku tahu, itu bukan patokan standart kalau pengetahuanku sejumlah angka tersebut. Dalam mata pelajaran apapun aku sering gagal paham, aku tidak mampu memahami pelajaran dengan baik, hingga saat ini, mbak-mbak dan mas-mas yang pernah nyantri atau tinggal di pesantren dan pernah mengetahui bagaimana semasa aku kecil pasti akan memiliki ingatan sama, jika dulu aku adalah siswa yang nakal, tidak mau berangkat ke sekolah kalau tidak dikasih uang saku, sepatu masih dibantu pakai, mandi masih dimandiin. Ya, kecilku, adalah waktu dimana aku tidak membuat suatu perbuatan yang bisa membuat orang lain senang, lebih sering membuat mereka susah.
Tahun 2000 aku lulus SD dengan 1% keberuntungan yang masih berpihak kepadaku. Aku tidak segera melanjutkan ke jenjang berikutnya, dengan berbagai alasan, pertama, saat mau melanjutkan ke sekolah di yayasan yang sama dengan waktu SD dulu biayanya cukup mahal, bapak tidak mampu membayar uang masuk yang begitu besar bagi keluarga kami saat itu. Semenjak kepergian umi, pesantren tutup, bapakku tidak mampu mengganti sosok umi untuk melanjutkan pesantren. Kedua, aku masih ogah-ogahan dengan bangku sekolah, mengingat SDku seperti itu, jadi kemungkinan besar jenjang berikutnya tak jauh dari itu, membosankan!!. Yah, akhirnya aku tidak mendaftar ke sekolah di yayasan yang sama dengan SDku dulu. Namun, beberapa hari kemudian, aku mendapat kabar dari temanku yang mendaftar di MTsN Surabaya, katanya biayanya murah, mendengar hal tersebut, bapak segera menyuruhku mendaftar beliau meyakinkanku bahwa aku masih bisa melanjutkan sekolah lagi. Tapi karena dasar aku adalah seorang yang penakut akhirnya kami tidak jadi pergi ke mendaftar ke MTsN Surabaya saat itu, padahal, pagi itu bapak sudah siap dengan mengantarkanku ke sekolah berlabel Islam tersebut. Memang sebelumnya aku sangat senang membayangkan aku akan berkumpul dengan temanku yang juga melanjutkan ke sekolah itu. Namun, semua hanya mimpi, akhirnya aku kalah dengan ketakutanku, hanya karena tahun ajaran baru sudah dimulai dan telat mendaftar.
Rentang tahun 2000 – 2003 adalah boomingnya PS (playstation), setiap hari tempat nongkrongku disana, aku seperti menemukan kesenangan disana, ya, itulah duniaku saat itu. setiap ada uang, aku selalu pergi ke rental PS, dan main game kesukaanku. Dan itu didukung teman-teman sepermainanku yang juga mayoritas tidak sekolah, bukan karena mereka tidak mampu, lebih karena tidak maunya melanjutkan sekolah. Ada yang bersekolah tapi tidak sebenar-benarnya sekolah, sebelum jam pelajaran usai mereka sudah pulang dan nongkrong di PS. Bahkan setiap malam, aku mengatur agenda main PS selama 2-3 jam usai Isya’ dengan temanku tersebut.
Beruntungnya aku tidak pernah tergiur kedalam pergaulan mereka yang buruk, minum-minuman keras, main perempuan selayaknya teman-temanku saat itu. Dan 99% mereka adalah perokok aktif. Aku masih ingat, setiap ada bazaar/pasar malam yang tidak jauh dari rumah, pasti larut malamnya  mereka akan menggelar pesta minuman keras. Saat seperti itu aku akan menjauh darinya, karena abah tidak menghendaki aku berteman saat seperti itu.
Teman-temanku kurang lebih ada 10 orang, setiap sore kami bermain sepakbola di lapangan SD tempat dimana aku dulu bersekolah. Seperti sudah terjadwal, pagi hari adalah waktu dimana kami semua sibuk beraktifitas, ada yang sekolah, ada yang membantu orang tuanya jualan, ada yang bekerja mengirim lemon (minuman berbotol) ke warung-warung kecil, dan ada yang diam-diam nongkrong di tempat PS dengan berbusana seragam.
Dan siang hari seperti disepakati, kami menonton TV bersama dirumah salah satu teman sembari menunggu sore, kepulangan anak sekolah yang halaman sekolahnya akan kami pakai untuk bermain sepakbola hingga nanti menjelang maghrib. Bakda Maghrib adakah waktu yang harus aku gunakan untuk mengaji bersama dengan teman-temanku yang lain. Dan seusai shalat Isya’ TV adalah persinggahanku selanjutnya.
Rentang tahun 2000 – 2003 aku menikmati ‘kebebasan’ dari bangku sekolah, hidupku aku isi hanya bermain dan bermain. Memegang buku pelajaran merupakan suatu hal yang langka, komik adalah buku favoritku saat itu, komik Kung Fu Komang dan Detektif Conan, kebetulan tak jauh dari rumah ada yang menunjang hobi baca komikku saat itu, rental komik di Karang Menjangan, Surabaya.
Namun, entah mengapa tiba-tiba semester pertama tahun tersebut aku jadi ingin melanjutkan sekolah hanya karena ada pertanyaan temanku yang saat itu pulang sekolah dengan seragamnya putih biru bertanya, “melanjutkan sekolah dimana?”, entah kenapa aku malu menjawabnya dengan jawaban tidak bersekolah. Dan entah mengapa tiba-tiba aku berhenti di kios Koran menanyakan, “ada TTSnya pak?”. Semenjak itu aku berusaha melawan kebodohanku, mengasah otakku dengan mengisi TTS, hampir setiap hari mengisi TTS adalah hal yang kusuka, ditambah bapakku menjadi kamus berjalan jika ada istilah-istilah asing yang belum aku tahu.
Dan menjelang pergantian semester satu ke semester kedua, aku bertekad ingin melanjutkan sekolah lagi, tapi bukan disini, tapi di Ngawi, mbahku menyanggupi akan menanggung biaya sekolahku. Bapakku bukanlah seorang pegawai, beliau berkali-kali berganti usaha, namun selalu gagal, pernah jualan nasi tempe penyet, jualan kelapa, pernah jualan kaligrafi keliling. Selama rentang tahun tersebut keluarga kami masih terpuruk perekonomiannya. Membiayai sekolah di Surabaya pun masih belum mampu.
Akhirnya tawaran dari mbah di Ngawi aku terima, meski aku tak tahu nanti akan melanjutkan sekolah dimana dan bagaimana nanti aku hidup disana yang terkenal sepi suasananya. Sebenarnya tawaran dari mbah Uti sudah sejak tahun 2002 tapi karena aku yang masih merasa belum menemukan pentingnya pendidikan, akhirnya aku menolak mentah-mentah tawaran mbah Uti tersebut.
Saat di Ngawi bukan perkara mudah untuk beradaptasi, suasana yang sangat sunyi, 360 derajat berbeda mutlak dengan di Surabaya, yang biasanya main bareng-bareng dengan teman-teman, sekarang mendapati diriku hanya berdua dengan mbah, dirumah yang jauh dari hingar bingar kota. Aku tak punya kenalan disini, yang aku kenal hanya saudaraku saja, itupun tidak selalu bertemu, dan aku lebih sering menghabiskan waktu berada di rumah dengan dominasi suara jangkrik, dan suara kerincing sapi. Jalanan sepi, saat itu motor tidak sebanyak saat ini, paling bagus supra thok! Terdengar di jalanan hanya sesekali suara petani dengan aba-aba kepada sapinya membajak sawah yang tak jauh dari rumah. Ingin sekali kabur dari rumah, secara halus bukan kabur, tapi balik ke Surabaya, mengurungkan niatku untuk melanjutkan sekolah. Biarlah aku bodoh, asal aku bisa menikmatinya. Gila memang…
Karena mbah tidak tahan dengan kegelisahanku, akhirnya beliau mengutus pak dhe untuk mengirimku kerumah pak lek yang suasanya lebih rame daripada di rumah mbah. Rumahnya tak jauh dari rumah mbah, hanya sekitar 30 menit perjalanan. Saat itu aku masih belum bisa berbahasa jawa dengan baik, bahasa Suroboyoan aku pake saat itu dengan orang yang lebih tua, karena memang aku tak pernah bisa berbahasa dengan baik, aku belum mempunyai anggah-ungguh yang baik. Dan di rumah pak lekku itu kebetulan satu rumah dihuni kurang lebih 6-7 orang, lumayan rame daripada di rumah mbah yang cuma ada aku sama mbah.
Seperti hidup mulai dari awal, aku mulai belajar dari sana, aku diberi aktifitas rutin, karena dengan aktifitas tersebut aku akan terbebas dari rasa bosan dan ingin pulang. Awalnya aku meremehkan resept tersebut, dan ogah-ogahan melaksanakannya, tapi lambat laun, seiring berjalannya waktu aku menikmatinya, dan akhirnya aku lupa bahwa aku ingin balik ke Surabaya. Aku telah menikmati kegiatanku di sini, tapi kadang ketika malam datang, aku teringat teman-temanku yang ada di Surabaya. Aku melihat bintang bulan, dan berbicara kepadanya, “tolong sampaikan salamku kepada mereka, aku rindu…:’(“. Selalu seperti jika malam hari tiba saat aku tidak sedang apa-apa, membuka pintu dan duduk sambil melihat langit luas berbintang.
Dan tiba saatnya aku tahun ajaran baru dimulai, tahun 2003 aku masuk MTs Persiapan, tapi aku hanya bertahan selama 2 hari.

Jika temanku SD pada tahun 2003 lulus SMP, maka aku sebaliknya, aku baru masuk SMP. Aku membeserkan hati, tak apa, juara menang belakangan. Aku baru menapaki satu tangga untuk menempuh tangga-tangga selanjutnya… Paling tidak suatu saat aku bertemu mereka aku mempunyai jawaban pasti, "aku sekolah"...

Bersambung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ini Ceritaku Hari Ini. Update

Ponorogo Punya Cerita (19 Desember 2014)

Cinta Dalam Diam ; Romantisme Cinta Ala Ali Bin Abi Thalib dan Fatimah