Ponorogo Punya Cerita (19 Desember 2014)
Ini mungkin tulisan lama yang sengaja aku copast dari fesbukku, bagi teman fesbukku mungkin tulisan ini tidak asing, ya... Sengaja aku
repost di blogku, ya, sekalian untuk meramaikan tulisan, gimana lagi akhir-akhir ini aku memang jarang nulis setelah pegang hape fulltouchscreen, hape lamaku, si Samsung yang notabene qwerty lebih sering aku fungsikan sebagai radio saja.
Dan, kesempatan untuk bisa nulis lewat komputer pun juga jarang aku lakukan, laptop tiada. Ditambah faktor M ku juga kambuh. Yah, bagaimanapun itu, repost ini semoga menjadi penghibur tersendiri bagiku yang sedang dalam keadaan tidak baik. Alhamdulillaaah,...
Aamiiin Ya Raab....
Oke, ini dia...
Bismillahirrahmaaniirrahimm
Assalamu’alaikum WarahmatullaahiWabarakatuh…
Sehat semua??
Alhamdulillah… semoga dalam kondisi apapun yg baik-baiksaja.
Ini adalah sebuah catatan perjalanan. Perlu diperhatikan bahwa catatan ini akan panjang!! Total tujuh halaman font 11. Catatan ini akan mengisahkan perjalanan 600 kilometer (bahkan bisa lebih kurang bisa lebih dikit maupun banyak) yg baru kemarin, Kamis, 18 Desember 2014, banyak aku habiskan di perjalanan Surabaya – Ngawi – Ponorogo. Dalam catatan ini akan aku suguhkan kisahku yg rumit dan penuh liku-liku dalam mencapai sebuah tujuan, dan ketika tujuan sudah tercapai bukan berarti bisa berteriak, IM THE WINNEEEEEERRR!!! Tidak secepat itu, guys!! Layaknya sebuah matahari berputar memberi sinar terang kepada kehidupan kita, berbagi tugas dengan rembulan, ada gelap, ada terang! Habis gelap terbitlah terang, tagline populer RA. Kartini.
Oke, yuk kita mulai perjalanan kisah sepanjang hari ini …
Lintas malam
Tepat pukul 01.00 dini hari aku meluncur ke Ngawi, meski ngantuk dan capek sehabis pulang kerja langsung berangkat ke Ngawi, komitmen dengan jadwal, toh aku juga gag punya waktu longgar selain hari ini, Kamis, 18 Desember 2014. Tak apa, mumpung masih muda punya tenaga yang kuat untuk perjalanan malam yang jauh, nanti kalo udah gag muda lagi naiknya roda empat bukan milik umum. Aamiin… Beruntunglah dini hari itu hujan tak turun hingga aku menghirup udara segar di Ngawi, perjalanan lancar sampai tujuan.
Pukul 06.00 pagi kurang, aku sudah stand by di masjid agung Ngawi, menunggu pesanan kue sate raksasa ketemen yg beberapa hari lalu aku pesan untuk oleh-oleh ‘khas’ asli Ngawi untukpertemuan di Ponorogo sore harinya. Setelah ngobrol sana-sini dengan pengirim sekaligus cheffnya kue tersebut. Jam 7 aku sudah dalam perjalanan menuju rumah mbah diKaranglo, Ngrayudan dalam keadaan ngantuk tingkat kabupaten, untuk melepas kangen sekaligus sowan mbah uti. Tapi sebelumnya aku mampir warung yg dulu pernah aku ceritakan/tulis dalam catatan yang lalu, sebuah warung pecel dengan harga yang luar biasa miringnya.
Kurang lebih jam 8 pagi, aku sudah asyik mengobrol dengan mbah, dan tak lama kemudian aku sudah terlelap di kursi ruang tamu hingga pukul 11.30an. Dan pukul 13.00 kurang aku sudah meluncur menuju Ponorogo, sebuah kabupaten yang belum pernah aku tapakkan kaki disana …….. eh, pernah!! Tapi 2003 silam, begini ceritanya….
Disromantisme Masa Lalu
Pada waktu itu aku mau pulang dari lebaran di Surabaya, aku naik bus urutan kedua dari depan, seorang kernet atau calo gitu (aku juga lupa), menuntun arahku ketika aku memberitahu tujuanku, saat itu aku masih polos-polosnya masalah gituan, gag banyak tau system kerja mereka, modus istilah kerennya, baru kedua kalinya ini aku mudik sendiri tanpa ditemani saudara, jadi memang gag tau arah sama sekali, taunya bus jurusan Solo/Jogja turun Ngawi gitu aja, sialnya, aku tidak membaca jurusan yang biasa nempel dijidat depan bus karena saking mepetnya kepala bus dengan pantat bus depan, waktu naik sih aman-aman aja, gag sampe kebawa mimpi buruk, ahh, gag gitu juga kalee, tapi firasat buruk muncul ketika seorang kernet menarik uang karcis sementara bus masih berada di antrian dan belum jalan. Aneh. Pikirku. Dan yang membuat aku tambah merasa bodoh adalah ketika aku tau nama bus dikarcis tidak sama dengan badan bus yang aku lihat di pantulan kaca bus sebelah. Aku ingat saat itu bus yang aku tumpangi namanya Cendan* (ma’af nama disensor KPI)sedang tiket yg aku pegang bukan nama bus yg aku tumpangi, dr situ aku mulaiadem panas. Tapi karena masih polos, “ah, mungkin karcisnya habis jd pinjem tetangga satu rumah”.
Dalam perjalanan aku tenang-tenang aja dan berusaha yakin kalo bus yg aku tumpangi tujuannya benar-benar ke Ngawi ketika kernet koar-koar dr pintu belakang “yg mau ke Ngawi turun di Madiun!” entah berapa kali si kernet bilang seperti itu, dan aku merasa yakin kalo itu ditujukan kepada selain aku, sebab aku membawa bukti karcis dg tujuan NGAWI dicoret di tubuh karcis tinggal setengah yg menandakan aku naik bus yg tidak salah dan tidak akan turun selain di Ngawi.
Tapi, sewaktu perjalanan, aku merasa aneh dengan pemandangan dibalik jendela bus yg melaju kencang di malam hari itu. Sekian lama perjalanan, aku malah mendapati bahwa kendaraan bertubuh besar panjang ini tidak sedang menuju Ngawi, tetapi PONOROGO!!! WTF!!!
Aku masih ingat benar saat itu. Penumpang hanya tinggal beberapa, aku khawatir, was-was, hal yg kutakutkan sejak keberangkatan muncul silih berganti, apalagi saat itu lebih dari jam 7 malem. Si kernet menghampiriku, dan tanya turun mana, aku jawab dengan polos,“Ngawi”. Si kernet rupanya tau aku korban dari penipuan setelah melihat karcisku, dan cuma diam tanpa tanggung jawab. Dan akhirnya menyarankanku turun terminal dan cari bus jurusan Ngawi. DEEGGGG!!
Wesss! Aku bingung saat itu. Seingatku, aku gag punya saudara di Ponorogo, teman atau siapapun, aku berada di negeriantah berantah malam itu. Aku menginjakkan pertama kali kakiku di sebuah terminal yg lapang, sepi, gelap, ruko-ruko yg biasanya menjamur di setiap sudut terminal aku lihat gelap semua, menandakan kehidupan malam diterminal itu mati. Saat itu yang aku pikirkan jika aku tak dapat bus ke Ngawi adalah, jalan kemana dan tidur dimana di sebuah wilayah terasing, belantara, yg aku tak tau apakah aku mampu bertahan disana dengan selamat sementara aku dilanda kekalutan yg luar biasa (lebay!).
Disaat putus asa dan hampir menangis, suara derum bus memecah kesunyian didalam pikiranku, laksana sinar mentari yg menerangi lorong-lorong kegelapan disaat kita merangkak susah payahmenuju sebuah titik yg kita harap disitulah sinar itu akan muncul, dan disaattak terduga, dibelakang kita sebuah sinar menerangi kita dan, akhirnya akubersyukur banget bisa ke Ngawi malam itu juga … Apakah jalan terang itu akanterus menunjukkan jalan kepadaku?? Tidak segampang itu … tanpa aku sadari,semuanya kembali gelap, ya gelap … SKIP
Itulah pengalaman pertamaku menginjakkan kakiku di Ponorogo di 2003 silam. Dan setelah kurang lebih 10 tahun lamanya, tahun ini, tepatnya Kamis, 18 Desember 2014 aku menginjakkan kakiku kedua kalinya di bumi reog ini. Pengalaman adalah guru yg terbaik, begitu kira-kira kalimat bijak berusaha membijakkan kehidupan kita, tapi, apakah setelah pengalaman 10 tahun yg lalu aku lebih paham dengan lokasi? Apa aku bisa membunuh disromantisme masa lalu atau disorientasi masa lalu yg kacau karena tragedi sepotong karcis sesat itu? Ah, aku tak selebay gitulah. Tapi faktanya, waktu menuju Ponorogo bukanlah hal yang mudah menurutku. Sejak dirumah mbah Uti aku sudah dibuat galau jalan menuju Ponorogo itu lewat mana,konsep dari sebuah keingintahuan, adalah mencari jawaban yang benar-benar bisa diterima secara logis agar mudah untuk dijalani agar tak tersesat dikemudian.
Disorientasi Rute
Perjalanan mencari tahu dimulai saat aku bertanya kepada pengendara lain yg tengah berhenti di tanjakan depan pasar hewan Kendal. Saat itu aku masih ingat betul, pengendara –yg mungkin beberapa bulan/tahun lagi lebih pantas disebut mbah kakung- tersebut memberiku 2 alternatif, alternatif pertama lewat Maospati – Madiun, itu paling mudah menurutnya dan menurutku itu terlalu mainstream. Sudah biasa aku lewati, jadi gag ada tantangan atau sesuatu yg menarik. Lalu alternatif kedua adalah lewat Magetan, tapi jalannya naik turun. Imajinasiku langsung melesat dengan cepat bak roket tempur menterjemahkan kata “naik turun” yg dengan sekilas terpampang pesona Lawu dari perspektif yg berbeda, jurang sana-sini, pemandangan yg luar biasa dan membuat aku bergairah dalam menikmati perjalananku yg dalam satu hari ini kurang lebih total 600 km.
Tapi, imajinasi yg dibangun seindah pelangi menghiasi angkasa disaat kita suntuk dengan pemandangan langit yg monoton akhirnya berubah ketika awan gelap dengan gumpalan yg menakutkan. Sesampai di Magetan aku awasi setiap plang penunjuk arah, kata PONOROGO menjadi pencarian populer siang hari itu. Mulai dari tukang parkir, penjual pentol, bapak-bapak bergigi hitam bogang (bogangnya gag terlalu sih, cuma giginya seperti anak kecil bolong hitam sana-sini. Ma’af lho pak nggeh, tapi kenyataan kok) rambut kribo, pengendara di lampu merah, mbah kung yang membonceng cucunya, pengendara cewek berjilbab yg berhenti di lampu merah, ibu penjaga warung dan entah siapa lagi aku lupa bertanya kepada siapa hanya untuk mencari tau arah ke Ponorogodan STAIN, trending topic hari itu!!
“pake’ google map, brayy!”
Tangan kiri sejak di Magetan sudah mulai search di hape, PONOROGO, setelah memahami perintah aku sedikit lega, berjalan pelan sambil menunggu hasil dari Google Map, setelah beberapa putaran roda, aku cek ulang apa benar ini jalan menuju Ponorogo, sungguh tidak meyakinkan banget, jalannya menurun dan tidak seindah imajinasi yg aku bangun, lurus turun pelan tanpa naik sama sekali. Saat itu aku baru menyadari bahwa tertulis, SEARCHING LOCATION …Wadduhhh… bakalan susah ini! Iyya kalo jalan ini benar, kalo salah gimane? Padahal udah terlalu lama aku dijalan, menurut responden pengendara pertama, Ngawi – Ponorogo kurang lebih cuma sejam-an. Tapi aku hampir satu masih muter-muter di Magetan, belum ada sama sekali papan penunjuk yg mengatakan, ANDA BERADA DIJALAN YANG BENAR!! Semua serba tanda tanya dan menggantung tanpa jelas.
Bapak berambut kribo bergigi hitam bogang lebih hebat dari Google Map saat itu, meski unjuk giginya bermunculan saat menjelaskan kepadaku, “mending lewat jalan iki, lurus terusssssssss…Ojo sampe menggok sakdurunge enek pos polisi ng ngareppe, ne’ ngiri arah Madiun– Suroboyo, menggok o nganan, lurus terus wi tekan Ponorogo!!” hatiku berbunga-bunga setelah mendengar penjelasan bapak berambut kribo. Sebenarnya waktu lewat perempatan aku sudah membelokkan arah ke kanan saking jenuhnya dengan jalan yg sedari tadi lurus terus, tapi feelingku ini jalan yg gag bener, sebelum terlalu jauh akhirnya aku putar balik meyakinkanku kalo aku menuju jalan yg salah dan akhirnya bapak berambut kribo itulah yg menjadi pengujian hipotesis bahwa jalan yg aku lewati barusan salah,“ooo, berarti mboten belok nganan niki nggeh” kesimpulan akhir dr hasil pengujianku siang hari itu.
Setelah keluar dari kota Magetanmemang jalannya lurus terus dan terusssssssssssssssssssssssssssssss… sampai aku ragu apa ini jalan yang benar. Sementara Google Map tidak banyak membantu. Dan akhirnya bapak rambut kribo seolah menjadi peri penunjuk jalan yang benar,“MATUR SUWUN PAK, MONGGO” kalimat terakhir yg aku ucapkan mengakhiri pertemuan singkat kami yg begitu bercahaya (hahaha lebay!).
Beberapa puluh menit kemudian aku sudah beradai jalan Madiun – Ponorogo, sementara gagap gerimis menguji pendirianku bahwa aku harus tetap mendiamkan mantel ditempat yg nyaman sejak berangkat dari Surabaya. Aku lihat pengendara yg lain buru-buru pake mantelnya aku sih lempeng aja, jalan terus. Dengan speedo diatas angka 60 km/jam aku harap masih bisa berjama’ah ashar di masjid kampus STAIN, tujuanku ke Ponorogo. Memasuki kota Ponorogo aku pencarian popular selanjutnya adalah, DIMANA KAMPUSSTAIN BERADA!! Responden pertamaku adalah seorang kakek -lebih sopan memanggilnya dengan mbah sebenarnya sih- yg membonceng cucunya dan berhenti tepat sampingku saat dilampu merah, beliau menjawab setelah aku terjemahkanke bahasa Jawa, “ngko eneng lampu merah ng ngarep sampean belok kiri, terus eneng perempatan patung kuda sampean nganan, ya kono kuwi STAIN” paham-paham,batinku! Ah mudah ternyata mencari lokasinya tanpa bantuan Google Map, indahnya… Sekali lagi, bahkan berkali-kali berikutnya, aku dibuat tak berdaya dengan disorientasi sebuah wilayah yang sama sekali tidak aku kenal! Bodohnya aku, kemana aku kemarin-kemarin kok gag berusaha searching lokasi kampusnya dimana, malah searching tempat wisata apa dan kuliner apa yg memikat di daerah Ponorogodg harapan nanti masih bisa meluangkan waktu untuk menikmati salah satu dari keduanya. Ujung-ujungnya malah gag dapet dua-duanya, dominan tersesat iyya! Bodohnya gue!!.
Entah berapa menit aku berjalan (nyebut bermotor lebih keren, sih) didaerah yg jelas gag familier banget dimataku, saat aku melintasi beberapa perempatan aku dibuat heran dengan patung-patung yg ada disetiap perempatan besar yg aku lewati, aku kira cuma satu eh, ternyata lebih dari satu, lalu patung yang mana menurut mbah tadi, apa patung tadi, setelah yg tadi, atau sebelum yg tadi??? Apa jangan-jangan mbah tadi salah dengar, mungkin beliau menangkap pertanyaan yg beda, sehingga jawabannya pun juga beda. Jangan-jangan arah yg ditunjukkan bukan ke STAIN, tapi yg lain. Alammmmaaakk… Aku kira bakal aman ketika melintasi patung manusia berkepala kuda, ternyata kenyataan tidak, aku seperti semakin menjauh dr pusat kota ketika aku membaca plang penunjuk arah, Pacitan dan Trenggalek. WTF!!! Mau dimana lagi ini!!!! Karena takut terlalu keluar dari area tujuan, aku putuskan belok ke kiri, dan kemudian bertanya kepada ibu penjaga warung. Meski jawabannya cukup membuat gelegar hatiku memuncak (ini juga lebay, hehe..) akucukup senang, saat beliau menjelaskan arahnya yg cukup simple, “jek uaddoohmas, sampean iki lurus teruss, eneg pertigaan sampean ngiri, lurus ae iku wstekan STAIN”.
Jam 3 sebentar lagi, aku harus sampai ketika ashar, dan aku belum ngeh ketika sebuah gedung berlantai tiga bercat hijau berada tepat disampingku saat lampu merah, akhirnya aku mendekati perempatan, tulisan plang penunjuk STIKIP tepat berada disebelah gedung besar itu. karena aku gag yakin itu STIKIP aku beranikan mendekati lagi hingga dibuat yakin dengan tulisan didinding bertandatangan entah siapa itu gag penting, menunjukkan bahwa gedung itu STAIN, Alhamdulillah akhirnya … usai sudah pengemberaan tanpa jalur yg jelas. Setelah lempar pandangan kanan kiri, akhirnya aku ngeh bangunan pinggir jalan seberang gedung ijo tadi, yg sedang dibangun dan dipuncaknya ada kubah itu adalah sebuah masjid. Akhirnya aku beranikan masuk lokasi kampus, masjid adalah tempat teraman untuk menenangkan diri setelah dipenuhi ujian sepanjang perjalanan ini. Setan-setan langsung lari terbirit-birit saat aku berniat menenangkan diri di dalam masjid, tapi ternyata saat aku dekati itu bukanlah masjid, gedung perkuliahan sedang dibangun dg kubah mungil diatasnya, beberapa detik kemudian adzan berkumandang dari sebuah gedung yg tertutup oleh lebatnya pohon, “oalaah, iku tho masjidnya” batinku.Beberapa detik kemudian lagi, ketua Forsmawi Ponorogo muncul sebelum aku melangkah dg sempurna meninggalkan motorku. Alhamdulillahirabbill ‘aalaamiiin …
SHARING TIME …
Agenda hari ini bertemu dengan pengurus dan anggota Forsmawi Daerah (Forsda) Ponorogo yg belum seumur jagung ini adalah sharing ada apa aja dalam Forsmawi. Dari sekian ngomong panjang x lebar, aku sedikit menekankan, jangan menjadi pemenang di kandang, jadilah pemenang diluar, karena perkembangan Forsmawi Ponorogo sangat bagus sejak 1 bulan terakhir dibanding Forsda perintis-perintis lainnya, sebutlah Forsda Kediri, Jombang, Madiun, dan Ngawi. Forsmawi adalah organisasi daerah satu-satunya yg ada dikampus STAIN. Kabar baiknya adalah, meski mereka belum genap satu semester berdiri,mungkin 2 bulan, ya. kekompakan mereka patut diacungi jempol. Dari awal aku sudah menekankan, kalau bisa setiap minggu kumpul, jangan seperti Forsda yg lainnya yg terlalu sibuk dengan akademis dan kegiatan intra maupun ekstra kampusnya sehingga cukup sulit untuk menentukan jadwal yg pasti untuk kegiatan Forsmawi di kampus. Dan entah sudah keberapa kali mereka mengadakan kumpulan dikampus dan setiap minggunya pasti lebih dari diatas 15 mahasiswa yg datang. Alhamdulillah sejauh ini mereka kompak satu sama lain, meski berbeda asal sekolah dan asal tapi mereka di sana disatukan oleh ikatan keluarga, keluarga besar Mahasiswa asal Ngawi yg sangat dikenal dengan Forsmawi. Saat sharing disana, aku sangat senang bisa berbagi dengan mereka, aku jelaskan yg perlu diperhatikan oleh mereka adalah keuangan, dan bagusnya, mereka setiap kumpulan, ada iuran @anak untuk kas. Kerennya, mereka hari ibu besok, 22 Desember 2014 mengadakan acara bagi-bagi kue dikampus untuk memperingatinya, so well lah!!
Memang tidak memungkiri setiap Forsda terdapat karakter budaya kampus yg berbeda satu sama lain, dan memang kadang perbedaan itu menjadi sebuah kendala, contoh saja, jadwal kuliah yg berbeda itu sudah cukup membuat kegiatan Forsmawi terkatung-katung, jadwal antar anggota yg tidak sama sehingga sangat sulit membuat kesepakatan kita akan kumpul tanggal demikian. Memang susah. Dan sebagai anggota Forsmawi khususnya di Surabaya, aku sangat paham betul hal demikian. Maka dari itu aku merekomendasikan buat adik-adik di Forsmawi Ponorogo untuk mengintensifkan frekuensi kumpul kalo bisa seminggu sekali kumpul, karena semakin sering kumpul akan semakin menunjukkan kalo Forsmawi itu ada dan dikenal. Jenuh? Cerita lama. Tidak akan ada kejenuhan jika pimpinannya mampu merangkul anggota untuk berpartisipasi aktif dan tidak cuma jadi penonton dg yel-yel datar tanpa semangat!!
Jadi, dalam kegiatan Forsmawi itu intinya adalah kekompakan, kekompakan itu dibangun dibawah aneka perbedaan dan diatas persatuan, satu daerah, satu cinta, Forsmawi ada!!
Pengalaman di Forsmawi, pernah aku meyakinkan seorang mahasiswa bahwa Forsmawi itu tidak cuma dari dua sekolah terkenal di Ngawi, SMASA dan SMADA, meski kenyataannya demikian mayoritas anggota Forsmawi adalah lulusan dari dua sekolah ngejreng tersebut. Kadang jika mahasiswa tersebut menyerah sebelum berdiri dia akan melambaikan tangan duluan dengan kepala tertunduk sambil bulir-bulir air mata menetes pelan (dramatis banget yak!), tanpa niat dan semangat untuk terus memotivasi diri agar bisa maju lebih dari mereka. Ahh… Sudahlah… kesuksesan seseorang ditentukan oleh dirinya sendiri dan tuntunan orang lain, selebihnya adalah do’a, teori baru bukan, ya…?.
Disorientasi Rute Part II
Setelah sharing usai seiring adzan Maghrib berkumandang di masjid sebelah gedung yg menjadi tempat sharing berlangsung, satu persatu pemuda-pemudi masa depan calon guru agama tersebut berhamburan menyisakan tiga orang, ketua Forsda Ponorogo dan temannya (lupa namanya). Seuasai shalat maghrib, sharing dadakan sambil nunggu grimis reda di depan masjid STAIN, hingga adzan Isya’ berkumandang menandakan bahwa aku harus sampai di Surabaya sebelum tengah malam kalau tidak ingin Jum’at besok capek luar biasa. Setelah ngobrol bentar kurang lebih pukul 19.30 aku melanjutkan perjalananku ke Surabaya. Grimis mengantar kepergianku dari bumi reog malam Jum’at itu… Sedikit takut juga, malem-malem lewat jalan sepi hasil arahan petunjuk mereka, bahwa jalan ini tercepat menuju jalan raya Ponorogo – Madiun.
Dan akhirnya, Alhamdulillah, keluar dr Ponorogo dengan lancar, tanpa hambatan, gag ada ceritanya muter-muter gag jelas di Ponorogo malam ini.
Tapi setelah memasuki Madiun, tingkat kesabaranku dan tingkat awasku diuji. Sabar diguyur hujan dan jalanan yg panjang, kedua mata yg setiap saat harus memelototi plang-plang petunjuk yg munculnya kadang gag diduga dan ketika terlewati sedetikpun, tersesat berpuluh-puluh menit kemudian. Dan akhirnya, kurang lebih satu jam aku masih berputar-putar di sekitar Madiun, lupa aku namanya. Baru setengah sepuluh lebih aku baru bebas dr kota Madiun dan menuju Surabaya.
22.40 aku sudah bersama air teh hangat disebuah warung di pinggir jalan sebuah daerah di Nganjuk – Surabaya. Lapar, dingin, capek berkombinasi meluluhlantakkan semangatku hari ini yg mulai meredup dan akhirnya aku KO di sebuah masjid di Mojokerto, lengkap dengan mantel aku langsung tertidur di emperen masjid hingga pukul 02.30 lebih, udara dingin yg cukup menusuk kalbu membuatku melepas mantel dan memakai jaket tebal yg sebelumnya aku pake di perjalanan Surabaya – Ngawi. Dan Alhamdulillah, setelah berpacu dengan kecepatan diatas 80 km/jam, aku bisa berjama’ah shubuhdi masjid dekat rumah. Tapi karena aku tak kuat dengan kondisiku, akhirnya aku tidak menjadi muslim yg baik shubuh itu,
Rasulullah Saw. bersabda:
“Seusai shalat fajar (subuh) janganlah kamu tidur sehingga melalaikankamu untuk mencari rezeki.” (HR. Thabrani)
Dengan berlabuhnya aku dalam pulas tidur, berakhir sudahlah perjalanan 600 km-ku (bahkan bisa lebih kurang bisa lebih dikit maupun banyak). Berawal mulai pukul 01.00 Kamis, 18 Desember 2014 dan berakhir pada pukul 04.50 Jum’at, 19 Desember 2014. Kesimpulan dari perjalanan panjang ini adalah puja-puji syukur kehadirat Allah SWT karena masih diberi kesempatan usia yg panjang, keselamatan dalam perjalanan serta nikmat-nikmat lain yg aku rasakan, kadangkala aku merasa pesimis bahwa aku bisa menyelesaikan perjalanan ini dengan lancar. Banyak hal yg harus kita bagi sebagai tanda kita bersyukur, berbagi tidak harus menunggu apa yang kita punya, tapi apakah kita mau berbagi, berbagi bukan perkara materi saja, tapi berbagi ide, pemikiran, saran, dll adakalanya lebih berharga dari segepok materi yg kita berikan. Karena pasti ada dalam beberapa kumpulan orang yg takut menatap masa depannya, sehingga hal ini menjadi tantangan kita untuk menunjukkan bahwa dunia itu tak selebar daun kelor dan sependek tali kolor ...
Jam 7 tepat aku bangun, tersadar dr mimpi bahwa masih ada kehidupan nyata yang harus dijalani. Jam 9 ada jadwal menjadi peserta seminar di kampus unair dan berikutnya UAS yang belum selesai. Hingga tulisan ini dibuat, sejak pagi jam 7, aku belum pernah merasakan punggungku berbaring disebuah tempat yg nyaman. Kerja dan aktivitas rutinan single fighter atau solo player adalah nyuci pakaian dan beberes kamar. Ditambah jam 1 siang lebih, pekerjaan sudah menantiku dan memintaku untuk beristiqamah dengan mata terbuka hingga pukul 24.00. Dan hari Sabtu adalah spesial. Selamat datang hari yg aku tunggu, hari dimana tumpuan utamaku untuk berbanyak waktu diri di rumah, di kamar tanpa tuntutan jam kerja, im free now!!
Alhamdulillah catatan ini selesai juga di penghujng Jum’at sebelum aku menuntaskan jam kerja. Insya Allah sudah tumpah ruah aku tulis disini. Dan mohon ma’af jika banyak kalimat yg salah dan cenderung membuat gagal paham pembacanya. Terima kasih atas perhatiannya, dan akhir kalimat …
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh …
You understand why love is blind? Because your mother loved you even before she was able to see you.
Kasih sepanjang masa, almarhumah umi yg tercinta
Selamat Hari Ibu …
Selesai
Jum’at, 19 Desember 2014
23.50 WIB
Disempurnakan
Sabtu, 20 Desember 2014
16.00 WIB
Room sweet room
repost di blogku, ya, sekalian untuk meramaikan tulisan, gimana lagi akhir-akhir ini aku memang jarang nulis setelah pegang hape fulltouchscreen, hape lamaku, si Samsung yang notabene qwerty lebih sering aku fungsikan sebagai radio saja.
Dan, kesempatan untuk bisa nulis lewat komputer pun juga jarang aku lakukan, laptop tiada. Ditambah faktor M ku juga kambuh. Yah, bagaimanapun itu, repost ini semoga menjadi penghibur tersendiri bagiku yang sedang dalam keadaan tidak baik. Alhamdulillaaah,...
Aamiiin Ya Raab....
Oke, ini dia...
Bismillahirrahmaaniirrahimm
Assalamu’alaikum WarahmatullaahiWabarakatuh…
Sehat semua??
Alhamdulillah… semoga dalam kondisi apapun yg baik-baiksaja.
Ini adalah sebuah catatan perjalanan. Perlu diperhatikan bahwa catatan ini akan panjang!! Total tujuh halaman font 11. Catatan ini akan mengisahkan perjalanan 600 kilometer (bahkan bisa lebih kurang bisa lebih dikit maupun banyak) yg baru kemarin, Kamis, 18 Desember 2014, banyak aku habiskan di perjalanan Surabaya – Ngawi – Ponorogo. Dalam catatan ini akan aku suguhkan kisahku yg rumit dan penuh liku-liku dalam mencapai sebuah tujuan, dan ketika tujuan sudah tercapai bukan berarti bisa berteriak, IM THE WINNEEEEEERRR!!! Tidak secepat itu, guys!! Layaknya sebuah matahari berputar memberi sinar terang kepada kehidupan kita, berbagi tugas dengan rembulan, ada gelap, ada terang! Habis gelap terbitlah terang, tagline populer RA. Kartini.
Oke, yuk kita mulai perjalanan kisah sepanjang hari ini …
Lintas malam
Tepat pukul 01.00 dini hari aku meluncur ke Ngawi, meski ngantuk dan capek sehabis pulang kerja langsung berangkat ke Ngawi, komitmen dengan jadwal, toh aku juga gag punya waktu longgar selain hari ini, Kamis, 18 Desember 2014. Tak apa, mumpung masih muda punya tenaga yang kuat untuk perjalanan malam yang jauh, nanti kalo udah gag muda lagi naiknya roda empat bukan milik umum. Aamiin… Beruntunglah dini hari itu hujan tak turun hingga aku menghirup udara segar di Ngawi, perjalanan lancar sampai tujuan.
Pukul 06.00 pagi kurang, aku sudah stand by di masjid agung Ngawi, menunggu pesanan kue sate raksasa ketemen yg beberapa hari lalu aku pesan untuk oleh-oleh ‘khas’ asli Ngawi untukpertemuan di Ponorogo sore harinya. Setelah ngobrol sana-sini dengan pengirim sekaligus cheffnya kue tersebut. Jam 7 aku sudah dalam perjalanan menuju rumah mbah diKaranglo, Ngrayudan dalam keadaan ngantuk tingkat kabupaten, untuk melepas kangen sekaligus sowan mbah uti. Tapi sebelumnya aku mampir warung yg dulu pernah aku ceritakan/tulis dalam catatan yang lalu, sebuah warung pecel dengan harga yang luar biasa miringnya.
Kurang lebih jam 8 pagi, aku sudah asyik mengobrol dengan mbah, dan tak lama kemudian aku sudah terlelap di kursi ruang tamu hingga pukul 11.30an. Dan pukul 13.00 kurang aku sudah meluncur menuju Ponorogo, sebuah kabupaten yang belum pernah aku tapakkan kaki disana …….. eh, pernah!! Tapi 2003 silam, begini ceritanya….
Disromantisme Masa Lalu
Pada waktu itu aku mau pulang dari lebaran di Surabaya, aku naik bus urutan kedua dari depan, seorang kernet atau calo gitu (aku juga lupa), menuntun arahku ketika aku memberitahu tujuanku, saat itu aku masih polos-polosnya masalah gituan, gag banyak tau system kerja mereka, modus istilah kerennya, baru kedua kalinya ini aku mudik sendiri tanpa ditemani saudara, jadi memang gag tau arah sama sekali, taunya bus jurusan Solo/Jogja turun Ngawi gitu aja, sialnya, aku tidak membaca jurusan yang biasa nempel dijidat depan bus karena saking mepetnya kepala bus dengan pantat bus depan, waktu naik sih aman-aman aja, gag sampe kebawa mimpi buruk, ahh, gag gitu juga kalee, tapi firasat buruk muncul ketika seorang kernet menarik uang karcis sementara bus masih berada di antrian dan belum jalan. Aneh. Pikirku. Dan yang membuat aku tambah merasa bodoh adalah ketika aku tau nama bus dikarcis tidak sama dengan badan bus yang aku lihat di pantulan kaca bus sebelah. Aku ingat saat itu bus yang aku tumpangi namanya Cendan* (ma’af nama disensor KPI)sedang tiket yg aku pegang bukan nama bus yg aku tumpangi, dr situ aku mulaiadem panas. Tapi karena masih polos, “ah, mungkin karcisnya habis jd pinjem tetangga satu rumah”.
Dalam perjalanan aku tenang-tenang aja dan berusaha yakin kalo bus yg aku tumpangi tujuannya benar-benar ke Ngawi ketika kernet koar-koar dr pintu belakang “yg mau ke Ngawi turun di Madiun!” entah berapa kali si kernet bilang seperti itu, dan aku merasa yakin kalo itu ditujukan kepada selain aku, sebab aku membawa bukti karcis dg tujuan NGAWI dicoret di tubuh karcis tinggal setengah yg menandakan aku naik bus yg tidak salah dan tidak akan turun selain di Ngawi.
Tapi, sewaktu perjalanan, aku merasa aneh dengan pemandangan dibalik jendela bus yg melaju kencang di malam hari itu. Sekian lama perjalanan, aku malah mendapati bahwa kendaraan bertubuh besar panjang ini tidak sedang menuju Ngawi, tetapi PONOROGO!!! WTF!!!
Aku masih ingat benar saat itu. Penumpang hanya tinggal beberapa, aku khawatir, was-was, hal yg kutakutkan sejak keberangkatan muncul silih berganti, apalagi saat itu lebih dari jam 7 malem. Si kernet menghampiriku, dan tanya turun mana, aku jawab dengan polos,“Ngawi”. Si kernet rupanya tau aku korban dari penipuan setelah melihat karcisku, dan cuma diam tanpa tanggung jawab. Dan akhirnya menyarankanku turun terminal dan cari bus jurusan Ngawi. DEEGGGG!!
Wesss! Aku bingung saat itu. Seingatku, aku gag punya saudara di Ponorogo, teman atau siapapun, aku berada di negeriantah berantah malam itu. Aku menginjakkan pertama kali kakiku di sebuah terminal yg lapang, sepi, gelap, ruko-ruko yg biasanya menjamur di setiap sudut terminal aku lihat gelap semua, menandakan kehidupan malam diterminal itu mati. Saat itu yang aku pikirkan jika aku tak dapat bus ke Ngawi adalah, jalan kemana dan tidur dimana di sebuah wilayah terasing, belantara, yg aku tak tau apakah aku mampu bertahan disana dengan selamat sementara aku dilanda kekalutan yg luar biasa (lebay!).
Disaat putus asa dan hampir menangis, suara derum bus memecah kesunyian didalam pikiranku, laksana sinar mentari yg menerangi lorong-lorong kegelapan disaat kita merangkak susah payahmenuju sebuah titik yg kita harap disitulah sinar itu akan muncul, dan disaattak terduga, dibelakang kita sebuah sinar menerangi kita dan, akhirnya akubersyukur banget bisa ke Ngawi malam itu juga … Apakah jalan terang itu akanterus menunjukkan jalan kepadaku?? Tidak segampang itu … tanpa aku sadari,semuanya kembali gelap, ya gelap … SKIP
Itulah pengalaman pertamaku menginjakkan kakiku di Ponorogo di 2003 silam. Dan setelah kurang lebih 10 tahun lamanya, tahun ini, tepatnya Kamis, 18 Desember 2014 aku menginjakkan kakiku kedua kalinya di bumi reog ini. Pengalaman adalah guru yg terbaik, begitu kira-kira kalimat bijak berusaha membijakkan kehidupan kita, tapi, apakah setelah pengalaman 10 tahun yg lalu aku lebih paham dengan lokasi? Apa aku bisa membunuh disromantisme masa lalu atau disorientasi masa lalu yg kacau karena tragedi sepotong karcis sesat itu? Ah, aku tak selebay gitulah. Tapi faktanya, waktu menuju Ponorogo bukanlah hal yang mudah menurutku. Sejak dirumah mbah Uti aku sudah dibuat galau jalan menuju Ponorogo itu lewat mana,konsep dari sebuah keingintahuan, adalah mencari jawaban yang benar-benar bisa diterima secara logis agar mudah untuk dijalani agar tak tersesat dikemudian.
Disorientasi Rute
Perjalanan mencari tahu dimulai saat aku bertanya kepada pengendara lain yg tengah berhenti di tanjakan depan pasar hewan Kendal. Saat itu aku masih ingat betul, pengendara –yg mungkin beberapa bulan/tahun lagi lebih pantas disebut mbah kakung- tersebut memberiku 2 alternatif, alternatif pertama lewat Maospati – Madiun, itu paling mudah menurutnya dan menurutku itu terlalu mainstream. Sudah biasa aku lewati, jadi gag ada tantangan atau sesuatu yg menarik. Lalu alternatif kedua adalah lewat Magetan, tapi jalannya naik turun. Imajinasiku langsung melesat dengan cepat bak roket tempur menterjemahkan kata “naik turun” yg dengan sekilas terpampang pesona Lawu dari perspektif yg berbeda, jurang sana-sini, pemandangan yg luar biasa dan membuat aku bergairah dalam menikmati perjalananku yg dalam satu hari ini kurang lebih total 600 km.
Tapi, imajinasi yg dibangun seindah pelangi menghiasi angkasa disaat kita suntuk dengan pemandangan langit yg monoton akhirnya berubah ketika awan gelap dengan gumpalan yg menakutkan. Sesampai di Magetan aku awasi setiap plang penunjuk arah, kata PONOROGO menjadi pencarian populer siang hari itu. Mulai dari tukang parkir, penjual pentol, bapak-bapak bergigi hitam bogang (bogangnya gag terlalu sih, cuma giginya seperti anak kecil bolong hitam sana-sini. Ma’af lho pak nggeh, tapi kenyataan kok) rambut kribo, pengendara di lampu merah, mbah kung yang membonceng cucunya, pengendara cewek berjilbab yg berhenti di lampu merah, ibu penjaga warung dan entah siapa lagi aku lupa bertanya kepada siapa hanya untuk mencari tau arah ke Ponorogodan STAIN, trending topic hari itu!!
“pake’ google map, brayy!”
Tangan kiri sejak di Magetan sudah mulai search di hape, PONOROGO, setelah memahami perintah aku sedikit lega, berjalan pelan sambil menunggu hasil dari Google Map, setelah beberapa putaran roda, aku cek ulang apa benar ini jalan menuju Ponorogo, sungguh tidak meyakinkan banget, jalannya menurun dan tidak seindah imajinasi yg aku bangun, lurus turun pelan tanpa naik sama sekali. Saat itu aku baru menyadari bahwa tertulis, SEARCHING LOCATION …Wadduhhh… bakalan susah ini! Iyya kalo jalan ini benar, kalo salah gimane? Padahal udah terlalu lama aku dijalan, menurut responden pengendara pertama, Ngawi – Ponorogo kurang lebih cuma sejam-an. Tapi aku hampir satu masih muter-muter di Magetan, belum ada sama sekali papan penunjuk yg mengatakan, ANDA BERADA DIJALAN YANG BENAR!! Semua serba tanda tanya dan menggantung tanpa jelas.
Bapak berambut kribo bergigi hitam bogang lebih hebat dari Google Map saat itu, meski unjuk giginya bermunculan saat menjelaskan kepadaku, “mending lewat jalan iki, lurus terusssssssss…Ojo sampe menggok sakdurunge enek pos polisi ng ngareppe, ne’ ngiri arah Madiun– Suroboyo, menggok o nganan, lurus terus wi tekan Ponorogo!!” hatiku berbunga-bunga setelah mendengar penjelasan bapak berambut kribo. Sebenarnya waktu lewat perempatan aku sudah membelokkan arah ke kanan saking jenuhnya dengan jalan yg sedari tadi lurus terus, tapi feelingku ini jalan yg gag bener, sebelum terlalu jauh akhirnya aku putar balik meyakinkanku kalo aku menuju jalan yg salah dan akhirnya bapak berambut kribo itulah yg menjadi pengujian hipotesis bahwa jalan yg aku lewati barusan salah,“ooo, berarti mboten belok nganan niki nggeh” kesimpulan akhir dr hasil pengujianku siang hari itu.
Setelah keluar dari kota Magetanmemang jalannya lurus terus dan terusssssssssssssssssssssssssssssss… sampai aku ragu apa ini jalan yang benar. Sementara Google Map tidak banyak membantu. Dan akhirnya bapak rambut kribo seolah menjadi peri penunjuk jalan yang benar,“MATUR SUWUN PAK, MONGGO” kalimat terakhir yg aku ucapkan mengakhiri pertemuan singkat kami yg begitu bercahaya (hahaha lebay!).
Beberapa puluh menit kemudian aku sudah beradai jalan Madiun – Ponorogo, sementara gagap gerimis menguji pendirianku bahwa aku harus tetap mendiamkan mantel ditempat yg nyaman sejak berangkat dari Surabaya. Aku lihat pengendara yg lain buru-buru pake mantelnya aku sih lempeng aja, jalan terus. Dengan speedo diatas angka 60 km/jam aku harap masih bisa berjama’ah ashar di masjid kampus STAIN, tujuanku ke Ponorogo. Memasuki kota Ponorogo aku pencarian popular selanjutnya adalah, DIMANA KAMPUSSTAIN BERADA!! Responden pertamaku adalah seorang kakek -lebih sopan memanggilnya dengan mbah sebenarnya sih- yg membonceng cucunya dan berhenti tepat sampingku saat dilampu merah, beliau menjawab setelah aku terjemahkanke bahasa Jawa, “ngko eneng lampu merah ng ngarep sampean belok kiri, terus eneng perempatan patung kuda sampean nganan, ya kono kuwi STAIN” paham-paham,batinku! Ah mudah ternyata mencari lokasinya tanpa bantuan Google Map, indahnya… Sekali lagi, bahkan berkali-kali berikutnya, aku dibuat tak berdaya dengan disorientasi sebuah wilayah yang sama sekali tidak aku kenal! Bodohnya aku, kemana aku kemarin-kemarin kok gag berusaha searching lokasi kampusnya dimana, malah searching tempat wisata apa dan kuliner apa yg memikat di daerah Ponorogodg harapan nanti masih bisa meluangkan waktu untuk menikmati salah satu dari keduanya. Ujung-ujungnya malah gag dapet dua-duanya, dominan tersesat iyya! Bodohnya gue!!.
Entah berapa menit aku berjalan (nyebut bermotor lebih keren, sih) didaerah yg jelas gag familier banget dimataku, saat aku melintasi beberapa perempatan aku dibuat heran dengan patung-patung yg ada disetiap perempatan besar yg aku lewati, aku kira cuma satu eh, ternyata lebih dari satu, lalu patung yang mana menurut mbah tadi, apa patung tadi, setelah yg tadi, atau sebelum yg tadi??? Apa jangan-jangan mbah tadi salah dengar, mungkin beliau menangkap pertanyaan yg beda, sehingga jawabannya pun juga beda. Jangan-jangan arah yg ditunjukkan bukan ke STAIN, tapi yg lain. Alammmmaaakk… Aku kira bakal aman ketika melintasi patung manusia berkepala kuda, ternyata kenyataan tidak, aku seperti semakin menjauh dr pusat kota ketika aku membaca plang penunjuk arah, Pacitan dan Trenggalek. WTF!!! Mau dimana lagi ini!!!! Karena takut terlalu keluar dari area tujuan, aku putuskan belok ke kiri, dan kemudian bertanya kepada ibu penjaga warung. Meski jawabannya cukup membuat gelegar hatiku memuncak (ini juga lebay, hehe..) akucukup senang, saat beliau menjelaskan arahnya yg cukup simple, “jek uaddoohmas, sampean iki lurus teruss, eneg pertigaan sampean ngiri, lurus ae iku wstekan STAIN”.
Jam 3 sebentar lagi, aku harus sampai ketika ashar, dan aku belum ngeh ketika sebuah gedung berlantai tiga bercat hijau berada tepat disampingku saat lampu merah, akhirnya aku mendekati perempatan, tulisan plang penunjuk STIKIP tepat berada disebelah gedung besar itu. karena aku gag yakin itu STIKIP aku beranikan mendekati lagi hingga dibuat yakin dengan tulisan didinding bertandatangan entah siapa itu gag penting, menunjukkan bahwa gedung itu STAIN, Alhamdulillah akhirnya … usai sudah pengemberaan tanpa jalur yg jelas. Setelah lempar pandangan kanan kiri, akhirnya aku ngeh bangunan pinggir jalan seberang gedung ijo tadi, yg sedang dibangun dan dipuncaknya ada kubah itu adalah sebuah masjid. Akhirnya aku beranikan masuk lokasi kampus, masjid adalah tempat teraman untuk menenangkan diri setelah dipenuhi ujian sepanjang perjalanan ini. Setan-setan langsung lari terbirit-birit saat aku berniat menenangkan diri di dalam masjid, tapi ternyata saat aku dekati itu bukanlah masjid, gedung perkuliahan sedang dibangun dg kubah mungil diatasnya, beberapa detik kemudian adzan berkumandang dari sebuah gedung yg tertutup oleh lebatnya pohon, “oalaah, iku tho masjidnya” batinku.Beberapa detik kemudian lagi, ketua Forsmawi Ponorogo muncul sebelum aku melangkah dg sempurna meninggalkan motorku. Alhamdulillahirabbill ‘aalaamiiin …
SHARING TIME …
Agenda hari ini bertemu dengan pengurus dan anggota Forsmawi Daerah (Forsda) Ponorogo yg belum seumur jagung ini adalah sharing ada apa aja dalam Forsmawi. Dari sekian ngomong panjang x lebar, aku sedikit menekankan, jangan menjadi pemenang di kandang, jadilah pemenang diluar, karena perkembangan Forsmawi Ponorogo sangat bagus sejak 1 bulan terakhir dibanding Forsda perintis-perintis lainnya, sebutlah Forsda Kediri, Jombang, Madiun, dan Ngawi. Forsmawi adalah organisasi daerah satu-satunya yg ada dikampus STAIN. Kabar baiknya adalah, meski mereka belum genap satu semester berdiri,mungkin 2 bulan, ya. kekompakan mereka patut diacungi jempol. Dari awal aku sudah menekankan, kalau bisa setiap minggu kumpul, jangan seperti Forsda yg lainnya yg terlalu sibuk dengan akademis dan kegiatan intra maupun ekstra kampusnya sehingga cukup sulit untuk menentukan jadwal yg pasti untuk kegiatan Forsmawi di kampus. Dan entah sudah keberapa kali mereka mengadakan kumpulan dikampus dan setiap minggunya pasti lebih dari diatas 15 mahasiswa yg datang. Alhamdulillah sejauh ini mereka kompak satu sama lain, meski berbeda asal sekolah dan asal tapi mereka di sana disatukan oleh ikatan keluarga, keluarga besar Mahasiswa asal Ngawi yg sangat dikenal dengan Forsmawi. Saat sharing disana, aku sangat senang bisa berbagi dengan mereka, aku jelaskan yg perlu diperhatikan oleh mereka adalah keuangan, dan bagusnya, mereka setiap kumpulan, ada iuran @anak untuk kas. Kerennya, mereka hari ibu besok, 22 Desember 2014 mengadakan acara bagi-bagi kue dikampus untuk memperingatinya, so well lah!!
Memang tidak memungkiri setiap Forsda terdapat karakter budaya kampus yg berbeda satu sama lain, dan memang kadang perbedaan itu menjadi sebuah kendala, contoh saja, jadwal kuliah yg berbeda itu sudah cukup membuat kegiatan Forsmawi terkatung-katung, jadwal antar anggota yg tidak sama sehingga sangat sulit membuat kesepakatan kita akan kumpul tanggal demikian. Memang susah. Dan sebagai anggota Forsmawi khususnya di Surabaya, aku sangat paham betul hal demikian. Maka dari itu aku merekomendasikan buat adik-adik di Forsmawi Ponorogo untuk mengintensifkan frekuensi kumpul kalo bisa seminggu sekali kumpul, karena semakin sering kumpul akan semakin menunjukkan kalo Forsmawi itu ada dan dikenal. Jenuh? Cerita lama. Tidak akan ada kejenuhan jika pimpinannya mampu merangkul anggota untuk berpartisipasi aktif dan tidak cuma jadi penonton dg yel-yel datar tanpa semangat!!
Jadi, dalam kegiatan Forsmawi itu intinya adalah kekompakan, kekompakan itu dibangun dibawah aneka perbedaan dan diatas persatuan, satu daerah, satu cinta, Forsmawi ada!!
Pengalaman di Forsmawi, pernah aku meyakinkan seorang mahasiswa bahwa Forsmawi itu tidak cuma dari dua sekolah terkenal di Ngawi, SMASA dan SMADA, meski kenyataannya demikian mayoritas anggota Forsmawi adalah lulusan dari dua sekolah ngejreng tersebut. Kadang jika mahasiswa tersebut menyerah sebelum berdiri dia akan melambaikan tangan duluan dengan kepala tertunduk sambil bulir-bulir air mata menetes pelan (dramatis banget yak!), tanpa niat dan semangat untuk terus memotivasi diri agar bisa maju lebih dari mereka. Ahh… Sudahlah… kesuksesan seseorang ditentukan oleh dirinya sendiri dan tuntunan orang lain, selebihnya adalah do’a, teori baru bukan, ya…?.
Disorientasi Rute Part II
Setelah sharing usai seiring adzan Maghrib berkumandang di masjid sebelah gedung yg menjadi tempat sharing berlangsung, satu persatu pemuda-pemudi masa depan calon guru agama tersebut berhamburan menyisakan tiga orang, ketua Forsda Ponorogo dan temannya (lupa namanya). Seuasai shalat maghrib, sharing dadakan sambil nunggu grimis reda di depan masjid STAIN, hingga adzan Isya’ berkumandang menandakan bahwa aku harus sampai di Surabaya sebelum tengah malam kalau tidak ingin Jum’at besok capek luar biasa. Setelah ngobrol bentar kurang lebih pukul 19.30 aku melanjutkan perjalananku ke Surabaya. Grimis mengantar kepergianku dari bumi reog malam Jum’at itu… Sedikit takut juga, malem-malem lewat jalan sepi hasil arahan petunjuk mereka, bahwa jalan ini tercepat menuju jalan raya Ponorogo – Madiun.
Dan akhirnya, Alhamdulillah, keluar dr Ponorogo dengan lancar, tanpa hambatan, gag ada ceritanya muter-muter gag jelas di Ponorogo malam ini.
Tapi setelah memasuki Madiun, tingkat kesabaranku dan tingkat awasku diuji. Sabar diguyur hujan dan jalanan yg panjang, kedua mata yg setiap saat harus memelototi plang-plang petunjuk yg munculnya kadang gag diduga dan ketika terlewati sedetikpun, tersesat berpuluh-puluh menit kemudian. Dan akhirnya, kurang lebih satu jam aku masih berputar-putar di sekitar Madiun, lupa aku namanya. Baru setengah sepuluh lebih aku baru bebas dr kota Madiun dan menuju Surabaya.
22.40 aku sudah bersama air teh hangat disebuah warung di pinggir jalan sebuah daerah di Nganjuk – Surabaya. Lapar, dingin, capek berkombinasi meluluhlantakkan semangatku hari ini yg mulai meredup dan akhirnya aku KO di sebuah masjid di Mojokerto, lengkap dengan mantel aku langsung tertidur di emperen masjid hingga pukul 02.30 lebih, udara dingin yg cukup menusuk kalbu membuatku melepas mantel dan memakai jaket tebal yg sebelumnya aku pake di perjalanan Surabaya – Ngawi. Dan Alhamdulillah, setelah berpacu dengan kecepatan diatas 80 km/jam, aku bisa berjama’ah shubuhdi masjid dekat rumah. Tapi karena aku tak kuat dengan kondisiku, akhirnya aku tidak menjadi muslim yg baik shubuh itu,
Rasulullah Saw. bersabda:
“Seusai shalat fajar (subuh) janganlah kamu tidur sehingga melalaikankamu untuk mencari rezeki.” (HR. Thabrani)
Dengan berlabuhnya aku dalam pulas tidur, berakhir sudahlah perjalanan 600 km-ku (bahkan bisa lebih kurang bisa lebih dikit maupun banyak). Berawal mulai pukul 01.00 Kamis, 18 Desember 2014 dan berakhir pada pukul 04.50 Jum’at, 19 Desember 2014. Kesimpulan dari perjalanan panjang ini adalah puja-puji syukur kehadirat Allah SWT karena masih diberi kesempatan usia yg panjang, keselamatan dalam perjalanan serta nikmat-nikmat lain yg aku rasakan, kadangkala aku merasa pesimis bahwa aku bisa menyelesaikan perjalanan ini dengan lancar. Banyak hal yg harus kita bagi sebagai tanda kita bersyukur, berbagi tidak harus menunggu apa yang kita punya, tapi apakah kita mau berbagi, berbagi bukan perkara materi saja, tapi berbagi ide, pemikiran, saran, dll adakalanya lebih berharga dari segepok materi yg kita berikan. Karena pasti ada dalam beberapa kumpulan orang yg takut menatap masa depannya, sehingga hal ini menjadi tantangan kita untuk menunjukkan bahwa dunia itu tak selebar daun kelor dan sependek tali kolor ...
Jam 7 tepat aku bangun, tersadar dr mimpi bahwa masih ada kehidupan nyata yang harus dijalani. Jam 9 ada jadwal menjadi peserta seminar di kampus unair dan berikutnya UAS yang belum selesai. Hingga tulisan ini dibuat, sejak pagi jam 7, aku belum pernah merasakan punggungku berbaring disebuah tempat yg nyaman. Kerja dan aktivitas rutinan single fighter atau solo player adalah nyuci pakaian dan beberes kamar. Ditambah jam 1 siang lebih, pekerjaan sudah menantiku dan memintaku untuk beristiqamah dengan mata terbuka hingga pukul 24.00. Dan hari Sabtu adalah spesial. Selamat datang hari yg aku tunggu, hari dimana tumpuan utamaku untuk berbanyak waktu diri di rumah, di kamar tanpa tuntutan jam kerja, im free now!!
Alhamdulillah catatan ini selesai juga di penghujng Jum’at sebelum aku menuntaskan jam kerja. Insya Allah sudah tumpah ruah aku tulis disini. Dan mohon ma’af jika banyak kalimat yg salah dan cenderung membuat gagal paham pembacanya. Terima kasih atas perhatiannya, dan akhir kalimat …
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh …
You understand why love is blind? Because your mother loved you even before she was able to see you.
Kasih sepanjang masa, almarhumah umi yg tercinta
Selamat Hari Ibu …
Selesai
Jum’at, 19 Desember 2014
23.50 WIB
Disempurnakan
Sabtu, 20 Desember 2014
16.00 WIB
Room sweet room
Komentar
Posting Komentar