Yuk, Akhiri Pacaran, Sekarang! (Cerita Pendek)
"Kok murung gitu, met?"
Selamet mendesah, kepalanya tertunduk
"Ada masalah lagi dengan si Nita?"
Selamet mengangguk pelan
"Si Nita marah gag lu jemput pas pulang kerja"
Menggeleng
"Trus? Jangan-jangan lu ketahuan selingkuh, upss!"
"Ngawur lu Jon!
gw dah bosen gini-gini terus, setiap hari kudu jemput berangkat-pulang, kalo gag SMS dikira gag cinta, gag perhatian, sampe dikira lagi berduaan sama Surti tetangga sebelah"
"Emang kalian udah berapa taon pacaran?"
"Minggu depan ulang tahun kami jadian yang ke 3"
"Busettttt, lama bener! Kaya kredit motor aja 3 tahun, udah ketemu orang tuanya belum?
"Udah sih... tapi..."
"Apa tapi...?"
"Tapi... Bilangnya kita temenan aja, bukan lagi pacaran, jadi kita bekstrit gitu"
"Kenapa gag terus terang aja sama orang tuanya Nita, kan lebih enak, direstui kagaknya kan keliatan"
"... Nita belum boleh pacaran! Dan sama orang tuanya gag boleh pacaran, takut seperti si Minah, tetangga desa sebelah yang hamil gara-gara pacaran trus cowoknya ngilang gag tau kemana... dan sekarang si Minah terancam melahirkan tanpa tahu dimana bapak si jabang bayi"
"Astaghfirullaaah... Iya ya...
Lah, lu kenapa masih aja pacaran?"
"Kan gw bukan seperti cowoknya si Minah, gw mah bakalan tanggung jawab"
Sambil menepuk dada, sombong
"jangan gitulah, met! Ini bukan soal lu bisa tanggung jawab apa kagak. Tapi ada nilai yang lebih ketika orang tua si Nita melarang anaknya pacaran
Seharusnya lu hormati keputusan orang tua Nita..."
"Trus? Kan gw gag ngelakuin apa-apa sama si Nita, gw cuma pegangan tangan doang pas liat pasar malem di pengkolan sono"
"Nah, meski lu anggap pegangan tangan cuma remeh lu salah, itu pertanda lu anggep enteng masalah pacaran"
"Apa masalahnyaa dengan pegangan tangan? Kan melindungi, biar ndak terpisah di keramaian"
"Yakin cuma pegangan tangan? Malem Minggu kemarin gw liat lu jalan ngrangkul si Nita, trus di boncengan kalian udah kaya sah-sah aja..."
"Apa itu salah? Kan pacaran emang lumrahnya gitu, semua orang kalo pacaran gitu kok, gandengan tangan, jalan bareng...
Ah, lu sirik aja sih... lu kan bisanya cuma di masjid gaul lu sama bapak-bapak lagi. Mana tau nikmatnya pacaran"
Selamet tertawa bangga
"Emang gw gag seberuntung lu, sih...
Tapi nanti di akhirat lu gag seberuntung gw..."
"Kok bisa?"
"Kan, Allah akan memberi ganjaran tiada tara bagi hambaNya yang menjaga nafsunya, dirinya dari keburukan dunia dan yang pasti pacaran gag menjamin hidup bahagia setelah nikah"
"Hey hey hey... Jangan ngaco, emang lu tahu dari mana bisa gitu?"
" ^_^"
Tersenyum...
"Kan gw pernah meneliti temen-temen gw, tetangga dan kenalan gw"
"Neliti apa? Apa hubungannya sama yang lu bilang tadi?"
Tersenyum...
Mengeluarkan lembaran kertas hasil penelitian dan memberikannya ke Selamet
"Noh, baca, bagaimana gw meneliti selama 5 tahun bagaimana perbandingan orang yang menikah dengan pacaran dan tidak dengan pacaran alias ta'aruf, melalui proses yang Islami"
Selamet sibuk membaca lembar demi lembar
"Disitu dijelaskan gw mengambil sample 100 orang di berbagai jenjang usia. Dan gw pisah 50 sample menikah didahului dengan pacaran dan 50 sample menikah secara Islami"
"Hasilnya?"
"50 sample hanya 10 sample saja yang bahagia menikah dengan diawali pacaran sedangkan 40 sample atau pasangan tidak, bahkan cenderung bosan, jenuh dengan rumah tangga mereka!"
"Meski tersisa 10 sample, berarti jaminan bahagia, ada kan?"
"Eit, jangan anggap sisa 10 itu bisa diartikan bahagia, lu keliru
10 sample yang menyatakan bahagia karena mereka jarang ketemu, 8 diantara 10 sample kondisinya hampir sama semua, suami atau istri mereka bekerja di luar negeri, uang kiriman setiap bulanlah yang membuat mereka bahagia, apalagi kirimannya juga banyak setiap bulannya, jadi keadaan mereka LDR"
"Trus yang 2 sample?"
"Mereka sepasang kakek nenek yang hidup serumah tapi beda tempat tidur, usia mereka baru 50an. Alasan mereka menyatakan bahagia, karena mereka ingin di usia mereka bisa menikmati kebahagiaan dengan kehadiran cucu mereka. Dan mereka mengaku di masa muda 4 tahun mereka berpacaran"
"Berarti itu gag bisa dikatakan bahagia sesungguhnya, mereka bahagia bukan ditemukan dalam hubungan, tapi faktor luar, gitu kan?"
"Sipp.. benar sekali
Jadi kesimpulannya, pacaran bukan jaminan hidup lu akan bahagia meski nantinya bakal lu nikahi... ada siklus yang bakal lu hadapi nanti saat berumah tangga dengan pacar yang udah lu jadiin istri...
Adakalanya pacaran adalah sebuah modus untuk menunjukkan kehebatan kita, sisi positif kita tunjukkan dengan sempurna, tapi seiring waktu sisi negatif akan muncul dan merangsang diri untuk berbuat buruk, buruk dan buruk, lalu lambat laun keburukan itu terpaksa kita terima karena dari awal itu adalah pasangan kita"
"Iya juga sih, kadang gw mati-matian datang tepat waktu pas mau jemput Nita, dan kadang gw liat Nita dibonceng cowok, temen kerjanya"
"Hemmm..."
"Eh, trus gimana dengan 50 sample yang menikah tanpa pacaran?"
Tersenyum....
"Buka halaman 45 yang bawah, tertulis bahwa 20 sample merupakan pasangan muda, nikah karena dijodohkan ustadz pimpinan pengajian kampus, lalu 20 sample nikah karena pilihannya sendiri, menemui orang tuanya langsung, ta'aruf dan biasanya langsung nikah tanpa prosesi khitbah, usia mereka bervariasi terbagi menjadi 2 golongan; muda, dewasa. Muda berkisar 20-30 tahun dan dewasa 31-50 tahun.
Kesimpulannya saja ya...
Selamet mengangguk
"Dari sekian 50 sample bisa dipetakan menjadi begini, 50% sangat bahagia dan 50%nya lagi..."
"... tidak bahaagia?"
Selamet menyela tiba-tiba
"Sangat sangat bahagia..."
"Kok bisa gitu...??"
"Yupp.... 50% yang menjawab sangat sangat bahagia adalah mereka yang sudah dikarunia buah hati bahkan cucu, selain mereka bahagia pada pasangan mereka, kebahagiaan mereka disempurnakan dengan kehadiran buah hati dan cucu yang melengkapi rumah tangga mereka."
Tersenyum...
Selamet bengong menatap angka-angka identifikasi kebahagiaan mereka yang menikah tanpa diawali pacaran
"Dalam proses yang Islami, ada proses ta'aruf, bertemunya pria dan perempuan yang ada niat menikah ditemani keluarga mereka. Mereka akan membuka sisi neegatif dan positif mereka dalam forum tersebut, jujur-jujuran, tak ada yang disembunyikan, kedua keluarga saling mengerti, dan jika kedua keluarga sepakat proses berlanjut ke khitbah, kalo dalam Islam adalah tunangan, dengan maksud sambil menunggu waktu nikah yang telah ditentukan si perempuan sudah tertutup untuk dipinang oleh pihak manapun. Dalam jangka menunggu proses ijab kabul nikah, kedua calon mempelai belum dihalalkan untuk bertemu bahkan berdua-duaan, tunggu hingga proses akad itu akan tiba barulah sah dan halal segalanya"
"Oh gitu, lalu gimana mereka bisa bahagia?"
"Kan mereka udah nikah,
Merekaa nikah atas dasar cinta kepada Allah bukan menggantungkan cinta seutuhnya pada manusia, orang yang mencintai Allah sudah pasti taat dari hati untuk melaksanakan semua perintah dari Allah dan RasulNya, dalam Ali Imron dijelaskan
Katakanlah: jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu...
Nah, jadi penerimaan sisi jelek dan baiknya serta sanggupnya mereka nerima itu semua, menjadi ridha Allah untuk menyatukan mereka dalam mitsaqan ghalidzan. Dosa mereka diampuni dan pertolongan Allah senantiasa dekat di hati mereka"
"Kalo belum nikah dosa gitu??"
"Nah situ sadar, nambah dosa, nambah ruwet hidup lu nantinya, yakin deh sama Allah. Toh, hidup gag cuma di dunia, di akhirat bakal diminta tanggung jawab atas kelakuan lu hari ini, ntar lu ditanya, ngapain jemput Nita? Apa Nita udah halal bagimu? Saat lu bilang belum, lu bakal disiksa deh. Jangan sampe gitu, met! Dah, tobat aja sebelum terlambat, perbaiki diri, gag usah deketin nafsu buruk, nafsu setan mah rugi mulu, untung pun itu cuma modus setan aja biar lu ketagihan, setan lebih pinter daripada yang lu kira, lu bilang pegangan tangan anggap remeh, tapi bagi setan itu dah prestasi untuk menuju prestasi-prestasi menyesatkanmu selanjutnya. Jangan sampe si Nita mengalami hal sama seperti Minah, bukankah semua berawal pandangan mata, turun ke hati, dibenarkan nafsu dan didorong setan"
"Iya, tapi kenapa kok gw baru sadar ya? Kenapa gag dulu-dulu aja"
"Sadar sekarang gag apa, daripada sadar waktu udah di shalati, udah putusin aja, perbaiki diri, ikut gw malem minggu di pengajian, ajang memanfaatkan waktu disaat banyak anak muda yang lain sibuk menghabiskan segelas kopi dan sebungkus rokok mereka di warung-warung dan ngobrol tanpa keimanan di hati mereka, kita adalah langka dan kelangkaan kita merupakaan kebahagiaan Allah dan RasulNya, jadi ngapain harus memperturutkan identitas gaul dunia kalau gaul Islam gag ada sama sekali, buat apa bahagia dunia tapi akhirat kita korbankan..."
"Betul,
Bentar gw mau nelpon"
Ngambil hape dan mencari sebuah nama
"Halo..."
Tersambung dengan yang disana
"Assalamu'alaikum Nita,
Yuk, kita putus sekarang. Aku mau jadi lebih baik lagi dihadapan Allah...
Wassalamu'alaikum"
Tuuuuuuuuuuuuuttt...
Yang disana bengong, belum sempat ngomong...
Selamet mendesah, kepalanya tertunduk
"Ada masalah lagi dengan si Nita?"
Selamet mengangguk pelan
"Si Nita marah gag lu jemput pas pulang kerja"
Menggeleng
"Trus? Jangan-jangan lu ketahuan selingkuh, upss!"
"Ngawur lu Jon!
gw dah bosen gini-gini terus, setiap hari kudu jemput berangkat-pulang, kalo gag SMS dikira gag cinta, gag perhatian, sampe dikira lagi berduaan sama Surti tetangga sebelah"
"Emang kalian udah berapa taon pacaran?"
"Minggu depan ulang tahun kami jadian yang ke 3"
"Busettttt, lama bener! Kaya kredit motor aja 3 tahun, udah ketemu orang tuanya belum?
"Udah sih... tapi..."
"Apa tapi...?"
"Tapi... Bilangnya kita temenan aja, bukan lagi pacaran, jadi kita bekstrit gitu"
"Kenapa gag terus terang aja sama orang tuanya Nita, kan lebih enak, direstui kagaknya kan keliatan"
"... Nita belum boleh pacaran! Dan sama orang tuanya gag boleh pacaran, takut seperti si Minah, tetangga desa sebelah yang hamil gara-gara pacaran trus cowoknya ngilang gag tau kemana... dan sekarang si Minah terancam melahirkan tanpa tahu dimana bapak si jabang bayi"
"Astaghfirullaaah... Iya ya...
Lah, lu kenapa masih aja pacaran?"
"Kan gw bukan seperti cowoknya si Minah, gw mah bakalan tanggung jawab"
Sambil menepuk dada, sombong
"jangan gitulah, met! Ini bukan soal lu bisa tanggung jawab apa kagak. Tapi ada nilai yang lebih ketika orang tua si Nita melarang anaknya pacaran
Seharusnya lu hormati keputusan orang tua Nita..."
"Trus? Kan gw gag ngelakuin apa-apa sama si Nita, gw cuma pegangan tangan doang pas liat pasar malem di pengkolan sono"
"Nah, meski lu anggap pegangan tangan cuma remeh lu salah, itu pertanda lu anggep enteng masalah pacaran"
"Apa masalahnyaa dengan pegangan tangan? Kan melindungi, biar ndak terpisah di keramaian"
"Yakin cuma pegangan tangan? Malem Minggu kemarin gw liat lu jalan ngrangkul si Nita, trus di boncengan kalian udah kaya sah-sah aja..."
"Apa itu salah? Kan pacaran emang lumrahnya gitu, semua orang kalo pacaran gitu kok, gandengan tangan, jalan bareng...
Ah, lu sirik aja sih... lu kan bisanya cuma di masjid gaul lu sama bapak-bapak lagi. Mana tau nikmatnya pacaran"
Selamet tertawa bangga
"Emang gw gag seberuntung lu, sih...
Tapi nanti di akhirat lu gag seberuntung gw..."
"Kok bisa?"
"Kan, Allah akan memberi ganjaran tiada tara bagi hambaNya yang menjaga nafsunya, dirinya dari keburukan dunia dan yang pasti pacaran gag menjamin hidup bahagia setelah nikah"
"Hey hey hey... Jangan ngaco, emang lu tahu dari mana bisa gitu?"
" ^_^"
Tersenyum...
"Kan gw pernah meneliti temen-temen gw, tetangga dan kenalan gw"
"Neliti apa? Apa hubungannya sama yang lu bilang tadi?"
Tersenyum...
Mengeluarkan lembaran kertas hasil penelitian dan memberikannya ke Selamet
"Noh, baca, bagaimana gw meneliti selama 5 tahun bagaimana perbandingan orang yang menikah dengan pacaran dan tidak dengan pacaran alias ta'aruf, melalui proses yang Islami"
Selamet sibuk membaca lembar demi lembar
"Disitu dijelaskan gw mengambil sample 100 orang di berbagai jenjang usia. Dan gw pisah 50 sample menikah didahului dengan pacaran dan 50 sample menikah secara Islami"
"Hasilnya?"
"50 sample hanya 10 sample saja yang bahagia menikah dengan diawali pacaran sedangkan 40 sample atau pasangan tidak, bahkan cenderung bosan, jenuh dengan rumah tangga mereka!"
"Meski tersisa 10 sample, berarti jaminan bahagia, ada kan?"
"Eit, jangan anggap sisa 10 itu bisa diartikan bahagia, lu keliru
10 sample yang menyatakan bahagia karena mereka jarang ketemu, 8 diantara 10 sample kondisinya hampir sama semua, suami atau istri mereka bekerja di luar negeri, uang kiriman setiap bulanlah yang membuat mereka bahagia, apalagi kirimannya juga banyak setiap bulannya, jadi keadaan mereka LDR"
"Trus yang 2 sample?"
"Mereka sepasang kakek nenek yang hidup serumah tapi beda tempat tidur, usia mereka baru 50an. Alasan mereka menyatakan bahagia, karena mereka ingin di usia mereka bisa menikmati kebahagiaan dengan kehadiran cucu mereka. Dan mereka mengaku di masa muda 4 tahun mereka berpacaran"
"Berarti itu gag bisa dikatakan bahagia sesungguhnya, mereka bahagia bukan ditemukan dalam hubungan, tapi faktor luar, gitu kan?"
"Sipp.. benar sekali
Jadi kesimpulannya, pacaran bukan jaminan hidup lu akan bahagia meski nantinya bakal lu nikahi... ada siklus yang bakal lu hadapi nanti saat berumah tangga dengan pacar yang udah lu jadiin istri...
Adakalanya pacaran adalah sebuah modus untuk menunjukkan kehebatan kita, sisi positif kita tunjukkan dengan sempurna, tapi seiring waktu sisi negatif akan muncul dan merangsang diri untuk berbuat buruk, buruk dan buruk, lalu lambat laun keburukan itu terpaksa kita terima karena dari awal itu adalah pasangan kita"
"Iya juga sih, kadang gw mati-matian datang tepat waktu pas mau jemput Nita, dan kadang gw liat Nita dibonceng cowok, temen kerjanya"
"Hemmm..."
"Eh, trus gimana dengan 50 sample yang menikah tanpa pacaran?"
Tersenyum....
"Buka halaman 45 yang bawah, tertulis bahwa 20 sample merupakan pasangan muda, nikah karena dijodohkan ustadz pimpinan pengajian kampus, lalu 20 sample nikah karena pilihannya sendiri, menemui orang tuanya langsung, ta'aruf dan biasanya langsung nikah tanpa prosesi khitbah, usia mereka bervariasi terbagi menjadi 2 golongan; muda, dewasa. Muda berkisar 20-30 tahun dan dewasa 31-50 tahun.
Kesimpulannya saja ya...
Selamet mengangguk
"Dari sekian 50 sample bisa dipetakan menjadi begini, 50% sangat bahagia dan 50%nya lagi..."
"... tidak bahaagia?"
Selamet menyela tiba-tiba
"Sangat sangat bahagia..."
"Kok bisa gitu...??"
"Yupp.... 50% yang menjawab sangat sangat bahagia adalah mereka yang sudah dikarunia buah hati bahkan cucu, selain mereka bahagia pada pasangan mereka, kebahagiaan mereka disempurnakan dengan kehadiran buah hati dan cucu yang melengkapi rumah tangga mereka."
Tersenyum...
Selamet bengong menatap angka-angka identifikasi kebahagiaan mereka yang menikah tanpa diawali pacaran
"Dalam proses yang Islami, ada proses ta'aruf, bertemunya pria dan perempuan yang ada niat menikah ditemani keluarga mereka. Mereka akan membuka sisi neegatif dan positif mereka dalam forum tersebut, jujur-jujuran, tak ada yang disembunyikan, kedua keluarga saling mengerti, dan jika kedua keluarga sepakat proses berlanjut ke khitbah, kalo dalam Islam adalah tunangan, dengan maksud sambil menunggu waktu nikah yang telah ditentukan si perempuan sudah tertutup untuk dipinang oleh pihak manapun. Dalam jangka menunggu proses ijab kabul nikah, kedua calon mempelai belum dihalalkan untuk bertemu bahkan berdua-duaan, tunggu hingga proses akad itu akan tiba barulah sah dan halal segalanya"
"Oh gitu, lalu gimana mereka bisa bahagia?"
"Kan mereka udah nikah,
Merekaa nikah atas dasar cinta kepada Allah bukan menggantungkan cinta seutuhnya pada manusia, orang yang mencintai Allah sudah pasti taat dari hati untuk melaksanakan semua perintah dari Allah dan RasulNya, dalam Ali Imron dijelaskan
Katakanlah: jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu...
Nah, jadi penerimaan sisi jelek dan baiknya serta sanggupnya mereka nerima itu semua, menjadi ridha Allah untuk menyatukan mereka dalam mitsaqan ghalidzan. Dosa mereka diampuni dan pertolongan Allah senantiasa dekat di hati mereka"
"Kalo belum nikah dosa gitu??"
"Nah situ sadar, nambah dosa, nambah ruwet hidup lu nantinya, yakin deh sama Allah. Toh, hidup gag cuma di dunia, di akhirat bakal diminta tanggung jawab atas kelakuan lu hari ini, ntar lu ditanya, ngapain jemput Nita? Apa Nita udah halal bagimu? Saat lu bilang belum, lu bakal disiksa deh. Jangan sampe gitu, met! Dah, tobat aja sebelum terlambat, perbaiki diri, gag usah deketin nafsu buruk, nafsu setan mah rugi mulu, untung pun itu cuma modus setan aja biar lu ketagihan, setan lebih pinter daripada yang lu kira, lu bilang pegangan tangan anggap remeh, tapi bagi setan itu dah prestasi untuk menuju prestasi-prestasi menyesatkanmu selanjutnya. Jangan sampe si Nita mengalami hal sama seperti Minah, bukankah semua berawal pandangan mata, turun ke hati, dibenarkan nafsu dan didorong setan"
"Iya, tapi kenapa kok gw baru sadar ya? Kenapa gag dulu-dulu aja"
"Sadar sekarang gag apa, daripada sadar waktu udah di shalati, udah putusin aja, perbaiki diri, ikut gw malem minggu di pengajian, ajang memanfaatkan waktu disaat banyak anak muda yang lain sibuk menghabiskan segelas kopi dan sebungkus rokok mereka di warung-warung dan ngobrol tanpa keimanan di hati mereka, kita adalah langka dan kelangkaan kita merupakaan kebahagiaan Allah dan RasulNya, jadi ngapain harus memperturutkan identitas gaul dunia kalau gaul Islam gag ada sama sekali, buat apa bahagia dunia tapi akhirat kita korbankan..."
"Betul,
Bentar gw mau nelpon"
Ngambil hape dan mencari sebuah nama
"Halo..."
Tersambung dengan yang disana
"Assalamu'alaikum Nita,
Yuk, kita putus sekarang. Aku mau jadi lebih baik lagi dihadapan Allah...
Wassalamu'alaikum"
Tuuuuuuuuuuuuuttt...
Yang disana bengong, belum sempat ngomong...
Komentar
Posting Komentar