Catatan Mingguan - Semua Akan Baik-baik Saja - Cerpen
Catatan Mingguan XI - Semua Akan Baik-baik Saja - Cerpen
Memang sebelum ini aku masih baik-baik saja, tapi setelah pembicaraan kami sore itu…
“Ada apa denganmu? Kamu baik-baik saja disana khan?”
“Iya, bu. Insya Allah saya masih baik-baik disini, mohon do’anya saja untuk puteramu ini”
“Iyya, ibu selalu mendo’akanmu, nak. Lalu apa masalahmu menolaknya? Bukankah kalian selama ini berhubungan baik? Tidak ada masalah apa-apa kan”
“Memang tidak ada masalah, bu! Tapi saya sudah berjanji saya tidak akan bisa. Bukan karena saya tidak punya waktu, bukan karena saya melupakan dia, atau bukan saya karena tidak lagi menganggapnya! Sayapun berani bilang seperti ini bukan kemarin-kemarin lho, bu, tapi sudah beberapa tahun yang silam saya mempersiapkannya, dan itu pun dihadapannya!!”
“Apakah kamu masih mencintainya, nak?”
“…..”
“kenapa diam? Kenapa kamu harus malu untuk mengungkapkannya ke ibumu ini? Apa benar kamu masih mengharapkan dia? Bicaralah terus terang sama ibu?”
“…. saya tak tahu harus ngomong bagaimana, bu. seperti yang ibu tahu selama ini tentang dia, ibu mengenalnya sejak kita masih duduk di bangku sekolah yang sama, kemudian ibu menyukainya karena kepribadiannya yang baik, sering membantu ibunya, adik-adiknya, rela bekerja demi bisa melanjutkan sekolahnya. Dan kita menjalani hubungan pertemanan yang luar biasa bertahun-tahun, kita kadang pulang berangkat sekolah bareng, keluarganya pun juga sudah tak asing lagi denganku, dan mereka sudah menganggap saya bukan orang lagi dirumah mereka, namun dalam sebuah hubungan kadang pasang surut terjadi, sejauh-jauhnya kita berusaha dan mempercayai bahwa akan berakhir dengan baik, tapi akhirnya kita berhenti dalam sebuah titik dimana saya yakin bahwa… ya, dia memang baik, aku memang masih….. mencintainya……. tapi saya sadar, sesuatu yang kita yakini bahwa itu baik untuk kita, belum tentu baik untuk masa yang akan datang, saya belajar dari segala hal yang bisa membuat saya tidak cepat mengambil keputusan, saya masih belajar tentang bagaimana kehidupan ini dari perspektif apa yang saya lihat bu, bukan dari perspektif orang lain, ibu…”
“Jangan bilang kalian sudah tidak ada komunikasi lagi?”
“Ibu benar, tanpa ibu ketahui kita sudah tidak ada komunikasi hampir lima tahun lamanya… Jadi selama ini saya tak tahu kabarnya dan kini setelah sekian tahun lamanya, tiba-tiba ibu mengabarkan kepada saya bahwa dia akan… aah, sudahlah, bu…
… yang lalu biarlah berlalu, saya masih nyaman dengan keadaanku seperti ini. Hanya ibulah satu-satunya alasan saya bisa bertahan ditempat ini, ibulah yang selama ini selalu setia menyemangati saya saat saya down, sebab ibulah saya berani mengambil keputusan seperti ini. saya ingin memberangkatkan ibu naik haji tahun depan, setelah itu baru saya akan menuruti kemauan ibu, sekarang fokus saya, biarlah puteramu ini membahagiakan perempuan yang sangat dicintainya, khususnya yang melahirkannya… jadi saya tak punya pilihan untuk memprioritaskan dalam urutan pertama orang yang ingin aku bahagiakan”
“yang kedua, nak?”
“Ibu…”
“terus yang ketiga…”
“ibu… Jika matipun demi ibu, aku rela… karena aku sayang sangat pada ibu melebihi apa yang aku miliki saat ini…”
“Ibu harap kamu kuat dengan masalah ini, nak. Ibu sangat bangga padamu”
“Iya, bu. saya bukan pria lemah, bu! Saya mewarisi ketegaran almarhum bapak kok, bu! Hehe…”
“Syukurlah, ibu senang mendengarnya. Tapi, bisakah nanti pulang mengantar ibu kesana? Tak perlu masuk, diluar saja, bagaimana?”
“tetap saja ibu, pada tanggal tersebut kebetulan saya tidak ada waktu untuk pulang, akan ada utusan dari dinas yang akan bertamu, dan kebetulan saya sebagai penanggung jawabnya… Ma’af, bu?”
“Oh, tidak apa-apa… eh, sudah gitu aja ya, nak. Sepertinya ada tamu diluar sana… Insya Allah disambung lagi kalau ada kesempatan, wassalamu’alaikum”
“Iya, bu. Insya Allaah. Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh”
Aku menghela napas panjang, pandanganku masih tak lepas dari kalender yang tepat berada didepanku. Beberapa minggu lagi acaranya diadakan. Akhirnya datang juga ujian dimana kesetiaan janjiku akan dipertaruhkan. Akankah aku akan mengingkari dan datang kesana, seperti yang ibu pinta, cukup mengantar beliau tanpa aku harus menemani disampingnya sambil menyalami mempelai yang sedang menunggu di kursi pelaminan? Ataukah aku tetap dengan janjiku dengan melaksanakan tanggung jawabku di tempatku sekarang ini?
Sedikit ada penyesalan dalam diriku sebenarnya. Seharusnya ibu tak menelponku tentang masalah ini, seharusnya jauh-jauh hari bahkan sejak aku mengikrarkan janji ke dia secepatnya aku harus memberitahukannya ke ibu, agar suatu saat hari itu tiba ibu tak perlu memberitahuku tentang hal tersebut. Memang dia kadang menghubungi ibu jika ada acara dirumahnya, seperti sunatan adiknya saat aku, ibu ditelponnya diminta datang, atau waktu ada yasinan dirumahnya, pagi-pagi benar ibu diminta datang dan disuruhlah adiknya menjemput ibu dirumah. Saat itu aku masih meneruskan studiku di Demak.
bu mengira kami berpacaran, tapi sebenarnya tidak, kami memang kadang selalu bersama, tapi sejatinya kita berbeda. Kita tak pernah sama, alasan itulah sebab mengapa kita harus berhenti dalam sebuah titik, karena kita berbeda dan memang sangat tidak mungkin untuk bisa disatukan.
5 Tahun yang Lalu
“Aku mencintaimu, aku ingin serius denganmu, aku ingin melihat ibu bahagia, dan aku melihat selama ini kamu bisa membuat ibuku bahagia… Tapi, sekali lagi, aku tak ingin menjalin hubungan yang tidak mempunyai landasan yang jelas, jika hanya berlandaskan cinta, sayang, senang, semua orang bisa… Aku menginginkan sebuah hubungan yang bisa dipertanggungjawabkan… “
“….”
“Aku memang masih menyandang status mahasiswa, aku belum mempunyai apa-apa, keluargaku juga bukan orang kaya, keluarga yang aku miliki cuma ibu. Beliaulah yang membuatku seperti ini. Do’a beliau adalah do’a untuk kebaikanku”
“Jika kamu maksud kamu hubungan yang bisa dipertanggungjawabkan itu adalah sebuah pernikahan, maka aku cuma bisa menjawab, aku belum siap…”
“Heyy, siapa yang bilang maksudnya menikah? Bukan… Aku tak hendak mengajakmu menikah dalam waktu dekat ini, meski pada akhirnya memang begitu. Maksudku bukan seperti itu, yang aku maksud adalah khitbah, melamar… aku ingin melamarmu, menunjukkan pada keluargamu bahwa aku memang ingin serius denganmu… Beberapa waktu kemudian setelah dirasa kita mempunyai kesepakatan bahwa kita siap menikah maka kita akan menikah, seperti itu gambarannya…”
“Apakah itu sama aja dengan pacaran? Bukannya kamu tidak suka dengan pacaran?”
“Oh tidak, meski kita telah bertunangan, aku akan pastikan kita bukan sedang menjalani aktivitas pacaran”
“Lalu bagaimana?”
“Bertunangan itu bukan lampu hijau kita untuk saling bermesra-mesraan, berduaan, atau bahkan saling memegang tangan, tidak… tidak… tidak… jangan sampai…”
“Lha ini kita lagi berdua, berdua-berduaan berarti?”
“Eh, adikmu disampingku apa bukan orang ya? Kita bersebarangan meja, dan inipun di ruang tamu, ibumu malah nonton TV dibelakangmu”
“Oh, heee…”
“Sejatinya cinta adalah saling menjaga, selama kita belum mempunyai ikatan yang sah, kita masih dibatasi oleh hal-hal yang bisa merugikan diri kita sebenarnya. Oleh sebab itu, seingatku aku baru kedua kalinya mengatakan bahwa aku mencintaimu, karena setiap kata yang kita ucapkan pasti ada pertanggungjawabannya, baik buruknya kita harus berhati-hati dengan lisan kita…
…kata cinta yang ucapkan padamu sebagai bukti lisan kalau aku memang memiliki perasaan tersebut, selebihnya dari apa yang kamu perhatikan dalam diriku selama ini…Jauh sebelum aku berani mengucapkannya, tindakanku adalah bentuk bahwa aku mencintaimu… hingga hari ini, dan aku rasa tindakanpun belum cukup jika tak diungkapkan dalam sebuah kalimat bahwa aku selama ini memiliki rasa itu.
“…”
“kenapa ada air mata di pipimu? Jangan menunduk terus…”
“… aku belum siap untuk hubungan seperti itu… aku……”
“maksudnya?”
“Iyya, aku belum siappp…..”
“Maksudnya belum siap??”
“aku belum siap menerima lamaranmu, aku belum siap kamu khitbah, aku merasa….. aku merasa aku masih ingin bebas, aku tak ingin terikat dalam sebuah hubungan apapun… apapun itu…”
“Hey, tadi sudah aku jelaskan, bahwa lamaran atau khitbah itu bukan hendak mengikatmu, mengekangmu… Itu salah satu pertanda bahwa aku serius denganmu, sebagai bukti ke keluargamu bahwa kamu telah dipinang oleh seorang lelaki… dan setelah itu aku… aku tak ingin mengharuskanmu setiap hari menghubungiku, atau apalah itu, terserah kamu karena memang kita tak boleh untuk itu…”
“kalau aku bilang aku tak siap itu berarti aku memang benar-benar tak siap, tolong mengertilah. Jangan paksa aku dengan sesuatu yang tak bisa aku paksakan. Jika itu menurutmu baik untuk kita, belum tentu pula itu baik untukku, aku merasa aku masih terlalu kecil untuk kamu ajak dalam hubungan yang serius, biarlah aku menikmati hidup ini…”
“Apakah kamu mencintaiku…”
“…”
“Tolong kamu jawab, aku tak butuh kebisuanmu sekarang… aku hanya butuh kepastian apakah kamu mencintaiku atau tidak!”
“…”
“kenapa masih diam saja? Jika diammu adalah sebuah pilihan, maka jawabannya adalah tidak, dan seandainya memang ada cinta untukku dihatimu, tentu tak akan sulit bagimu untuk mengatakannya. Sesungguhnya apa yang telah terjadi sehingga kamu memilih bungkam seperti ini, aku tak tahu apa yang terjadi dihatimu, apa yang kamu rasakan saat ini aku tak tahu, tapi aku masih ingat… Setahun yang lalu saat kamu mengatakan bahwa kamu mau… Ahh, aku lupa, itu cuma masa lalu… memang mudah sekali dicampakkan. Tak masalah… Tak masalah apapun jawaban yang kamu beri… atau bahkan kamu lebih memilih bungkam… tak masalah…”
“… aku rasa aku tak perlu menjawabnya, ya atau tidak itu semua masih tersimpan, kamu tak bisa mengambil kesimpulan dari apa yang terjadi padaku, karena hakikatnya apa yang aku rasakan, apa isi hatiku hanya aku yang aku tahu, aku mencintaimu atau tidak itu adalah rahasia hatiku. Kamu tak akan pernah tahu mengenainya… Jadi biarkanlah jawaban ini aku simpan, tak perlu aku mengatakan apapun tentang hal ini padamu…”
“… baiklah, kamu pemenangnya kali ini… aku nyerah”
Selama itu pula aku tak pernah tahu bagaimana perasaan dia kepadaku, dan aku sudah mulai perlahan-lahan melupakannya, tapi semakin keras aku berusaha melupakannya semakin keras itu pulalah pertanyaan tak terjawab itu semakin menghantuiku.
“Benarkah dia mencintaiku? Kalau benar kenapa dia tak mengatakannya? Apakah dia malu? Apakah dia takut? Kenapa harus takut? Apa yang ditakutkan? Atau bahkan jika dia memang tidak mencintaiku lalu apa arti semua ini? Apa arti kedekatan kita selama ini? Lalu bagaimana momen saat dia mengatakan bahwa dia mau menerimaku ketika aku menawarkan diri untuk menjadi pendamping hidupnya beberapa waktu silam? Apakah dia lupa? Ataukah dia mengingatnya tapi mencampakkannya? Mengapa seperti itu??”
BERSAMBUNG….
underreconstruction
Komentar
Posting Komentar