Apa Kabar Draft Buku? - Bagian Dua
Maaf tulisan ini belum sempurna, bahkan jauh dari kesan nyambung dengan judul diatas. Sebab tulisan ini ditulis dengan buru-buru, kurang dari dua jam...
Ma'af...
---
Sekarang aku duduk di bangku kuliah, buku lebih berat dari masa Aliyah, berat kuantitas maksudnya. Perpustakaan dan masjid adalah dua tempat yang agak sering aku kunjungi ketika di kampus. Warung, Cafe
menjadi prioritas kesekian, maklum kedua tempat itu membutuhkan uang untuk bisa menikmati isi didalamnya.
Berduit? Tidak... Cicilan motor udah bikin aku sesak napas...
Nulis makalah lalu dipresentasikan ke kawan-kawan sekelas. Di kritik bahkan dijatuhkan itu sudah biasa di dalam diskusi...
"berarti Anda salah dalam menjelaskan materi ini"
"bagaimana materi semudah ini tak bisa Anda jelaskan dengan mudah?"
"kebanyakan nonton Naruto"
"Lain kali kalau menulis makalah pakai judul yang jelas, jangan multipersepsi"
"ma'af, materinya banyak yang belum dijelaskan!"
dan masih banyak lagi model begituan. Mencari referensi ke perpus, begadang nulis makalah, dan baru ngeprint makalah sementara kelas masuk 10 menit lagi udah biasa. Sistem Kebut Sehari Semalam adalah makanan sehari-hari. Pulang kerja jam 12 malam, trus bangun pagi langsung ke kampus, setengah tujuh pagi kelas intensif udah dimulai, sementara belum tugas belum di print udah biasa. Kami terbiasa hidup ala militer, bukan masalah kedisiplinannya, tapi kerja ototnya yang digunakan. Ngantuk dikelas udah biasa. Bahkan korelasi buku kosong dengan mata kuliah adalah hal yang wajar.
Wajar jika, banyak mata kuliahku nilainya tak keluar, fisik yang dipertaruhkan kadang membuat aku kalah.
Tapi, kenangan diskusi membuatku ingin sekali menimba ilmu dari siapa pun.
2014 - 2015 adalah tahun dimana aku belajar bersama adik-adik kelas. Saat diskusi, aku jadi tahu ilmu baru dari mereka. Mereka lebih hebat dariku. Bahkan aku tak ada apa-apanya dibanding mereka.
"sampean ikut kelasnya pak Basith, aja Wim" usul bu Kajur lulusan Al Azhar tersebut. Saat aku menyampaikan keinginanku ingin ikut kuliah lagi.
Bagiku khazanah Islam itu sangat luas sekali, sehingga aku tak bosan sekali ingin mendalaminya di bangku kuliah. Aku tak peduli dibilang ketuaan ikut kelas adik angkatan. Aku hanya merasa sia-sia jika kuliah tak memahami apa-apa, bahkan aku takut ilmuku tak bermanfaat sama sekali. Naudzubillaah...
Pernah aku membuat cerpen yang aku tukil cita-citaku membuka sekolah fiqih, sebuah sekolah dimana semua usia, profesi bisa menimba ilmu fiqih, bagaimana cara wudhu yang benar, shalat yang benar, puasa yang benar, mengaji yang benar, semua tentang Islam, aku ingin membuka sekolah yang sangat terbuka bagi siapa pun. Aku ceritakan semua disana. Aku menceritakan sosokku setelah lulus dan berkeluarga (kalau gag masih single di ceritanya) membuka sekolah yang memiliki usaha mandiri untuk menghidupi sekolah tersebut. Engkau menyebutnya dengan pesantren? Bisa jadi iya... Tapi pesantren terlalu tinggi bagiku, oleh sebab itu sekolah lebih pantas aku menyebutnya. Sebab tak ada tokoh kiai disana, apalagi ustadz.
Hanya tokoh di dalam cerita itu yang berperan menjadi pendidik.
---
Entah itu tulisan tahun berapa aku lupa. Eh, lha kok makin tak konsisten tulisannya.
---
Pada mulanya aku agak terkejut dengan keadaan teman-teman seangkatanku yang lulus tepat waktu. Bagaimana tidak, kekhawatiranku terbukti saat melihat karir temanku di dunia kerja. 100% mereka berkarir jauh dari konsentrasi pendidikan di kuliah. Sempat khawatir juga melihatnya jika terjadi padaku kelak. Memang peluang sarjana hukum Islam sangat minim dibanding lulusan lain, guru, ekonomi maupun komunikasi. Kami tak dididik menjadi pegawai, kami belajar tentang hukum Islam, kami belajar bagaimana menjadi ahli hukum yang baik, kami belajar bagaimana membawa kami, keluarga, masyarakat agar tahu bahwa Islam sangat menyeluruh dalam tiap sendi kehidupan kita.
Ah, aku sepertinya mulai khawatir.
Pernah aku membuat cerpen tentang kekhawatiranku, entah cerpen yang mana, terlalu banyak membuat cerpen tanpa segera aku akhiri, semua menggantung. Tak memiliki penyelesaian dalam tiap kisahnya. Aku memang bukan penulis yang baik. Cuma, melalui tulisan aku curahkan semua buah pikiranku, semua harapanku, semua kisah cintaku (meski tak semua sih), semua kekhawatiran (meski tak semua juga sih). Dulu, saat Aliyah, menulis dan membaca adalah satu-satunya hiburan yang aku nikmati tiap hari dikamar, mendengarkan radio dan membaca adalah aktifitas yang paling mewah. Komputer, aku hanya satu bulan menikmatinya, selebihnya rusak.
Menulis, adalah terapiku merebus sepi, agar sepiku lebih hangat, panas dengan tanda kinerja otak yang masih berjalan. Menulis di buku adalah kebiasaan masa laluku, dan sulit untuk kubawa ke dalam aktifitasku sekarang, aku tak mengkambingputihkan gadget! Ini murni kesalahanku, kelemahan yang dari awal aku sadari dan sulit untuk kukalahkan.
Tahun kemarin, entah tahun berapa, pernah mencoba memulai tradisi di Aliyah, menulis catatan harian, tapi secepat itu gagal. Entahlah, hidupku kini mulai jauh dari dunia perbulpenan dan perbukutulisan. Bahkan aku sepertinya semakin karib dengan keyboard, monitor komputer dan laptop. Hape? Tak sering. beruntunglah aku sudah tak paketan, hanya mengandalkan wifi. SMSan? udah jarang.
Jadi proporsi membuka hape cenderung berkurang. Kalau di hitung dalam 24 jam. Mungkin cuma 4 jam. Main game di hape? Bukan hobiku! Menulis? Apa lagi... Aku jarang menulis, esensi kepuasan menulis itu didapat dari hasil tulisan tangan, menggunakan pena, bukan keyboards. Karena kelak itu akan jadi kenangan yang paling super dalam hidup kepenulisan kita.
------------------
Okey, cukup. Nanti dilanjt lagi. Insya Allaah
Tahun 2015 adalah tahun terbaikku menulis asal-asalan, ngawur, tulis apa aja yang muncul di otak, lupakan seni dalam menulis, diksi yang asal comot, EYD disepelekan, apalagi format subjek, predikat, objek, apa itu? Bahkan aku tak bisa membedahnya satu persatu.
Itulah sekelumit keeksisanku menulis di tahun sebelumnya.
Ma'af...
---
Sekarang aku duduk di bangku kuliah, buku lebih berat dari masa Aliyah, berat kuantitas maksudnya. Perpustakaan dan masjid adalah dua tempat yang agak sering aku kunjungi ketika di kampus. Warung, Cafe
menjadi prioritas kesekian, maklum kedua tempat itu membutuhkan uang untuk bisa menikmati isi didalamnya.
Berduit? Tidak... Cicilan motor udah bikin aku sesak napas...
Nulis makalah lalu dipresentasikan ke kawan-kawan sekelas. Di kritik bahkan dijatuhkan itu sudah biasa di dalam diskusi...
"berarti Anda salah dalam menjelaskan materi ini"
"bagaimana materi semudah ini tak bisa Anda jelaskan dengan mudah?"
"kebanyakan nonton Naruto"
"Lain kali kalau menulis makalah pakai judul yang jelas, jangan multipersepsi"
"ma'af, materinya banyak yang belum dijelaskan!"
dan masih banyak lagi model begituan. Mencari referensi ke perpus, begadang nulis makalah, dan baru ngeprint makalah sementara kelas masuk 10 menit lagi udah biasa. Sistem Kebut Sehari Semalam adalah makanan sehari-hari. Pulang kerja jam 12 malam, trus bangun pagi langsung ke kampus, setengah tujuh pagi kelas intensif udah dimulai, sementara belum tugas belum di print udah biasa. Kami terbiasa hidup ala militer, bukan masalah kedisiplinannya, tapi kerja ototnya yang digunakan. Ngantuk dikelas udah biasa. Bahkan korelasi buku kosong dengan mata kuliah adalah hal yang wajar.
Wajar jika, banyak mata kuliahku nilainya tak keluar, fisik yang dipertaruhkan kadang membuat aku kalah.
Tapi, kenangan diskusi membuatku ingin sekali menimba ilmu dari siapa pun.
2014 - 2015 adalah tahun dimana aku belajar bersama adik-adik kelas. Saat diskusi, aku jadi tahu ilmu baru dari mereka. Mereka lebih hebat dariku. Bahkan aku tak ada apa-apanya dibanding mereka.
"sampean ikut kelasnya pak Basith, aja Wim" usul bu Kajur lulusan Al Azhar tersebut. Saat aku menyampaikan keinginanku ingin ikut kuliah lagi.
Bagiku khazanah Islam itu sangat luas sekali, sehingga aku tak bosan sekali ingin mendalaminya di bangku kuliah. Aku tak peduli dibilang ketuaan ikut kelas adik angkatan. Aku hanya merasa sia-sia jika kuliah tak memahami apa-apa, bahkan aku takut ilmuku tak bermanfaat sama sekali. Naudzubillaah...
Pernah aku membuat cerpen yang aku tukil cita-citaku membuka sekolah fiqih, sebuah sekolah dimana semua usia, profesi bisa menimba ilmu fiqih, bagaimana cara wudhu yang benar, shalat yang benar, puasa yang benar, mengaji yang benar, semua tentang Islam, aku ingin membuka sekolah yang sangat terbuka bagi siapa pun. Aku ceritakan semua disana. Aku menceritakan sosokku setelah lulus dan berkeluarga (kalau gag masih single di ceritanya) membuka sekolah yang memiliki usaha mandiri untuk menghidupi sekolah tersebut. Engkau menyebutnya dengan pesantren? Bisa jadi iya... Tapi pesantren terlalu tinggi bagiku, oleh sebab itu sekolah lebih pantas aku menyebutnya. Sebab tak ada tokoh kiai disana, apalagi ustadz.
Hanya tokoh di dalam cerita itu yang berperan menjadi pendidik.
---
Entah itu tulisan tahun berapa aku lupa. Eh, lha kok makin tak konsisten tulisannya.
---
Pada mulanya aku agak terkejut dengan keadaan teman-teman seangkatanku yang lulus tepat waktu. Bagaimana tidak, kekhawatiranku terbukti saat melihat karir temanku di dunia kerja. 100% mereka berkarir jauh dari konsentrasi pendidikan di kuliah. Sempat khawatir juga melihatnya jika terjadi padaku kelak. Memang peluang sarjana hukum Islam sangat minim dibanding lulusan lain, guru, ekonomi maupun komunikasi. Kami tak dididik menjadi pegawai, kami belajar tentang hukum Islam, kami belajar bagaimana menjadi ahli hukum yang baik, kami belajar bagaimana membawa kami, keluarga, masyarakat agar tahu bahwa Islam sangat menyeluruh dalam tiap sendi kehidupan kita.
Ah, aku sepertinya mulai khawatir.
Pernah aku membuat cerpen tentang kekhawatiranku, entah cerpen yang mana, terlalu banyak membuat cerpen tanpa segera aku akhiri, semua menggantung. Tak memiliki penyelesaian dalam tiap kisahnya. Aku memang bukan penulis yang baik. Cuma, melalui tulisan aku curahkan semua buah pikiranku, semua harapanku, semua kisah cintaku (meski tak semua sih), semua kekhawatiran (meski tak semua juga sih). Dulu, saat Aliyah, menulis dan membaca adalah satu-satunya hiburan yang aku nikmati tiap hari dikamar, mendengarkan radio dan membaca adalah aktifitas yang paling mewah. Komputer, aku hanya satu bulan menikmatinya, selebihnya rusak.
Menulis, adalah terapiku merebus sepi, agar sepiku lebih hangat, panas dengan tanda kinerja otak yang masih berjalan. Menulis di buku adalah kebiasaan masa laluku, dan sulit untuk kubawa ke dalam aktifitasku sekarang, aku tak mengkambingputihkan gadget! Ini murni kesalahanku, kelemahan yang dari awal aku sadari dan sulit untuk kukalahkan.
Tahun kemarin, entah tahun berapa, pernah mencoba memulai tradisi di Aliyah, menulis catatan harian, tapi secepat itu gagal. Entahlah, hidupku kini mulai jauh dari dunia perbulpenan dan perbukutulisan. Bahkan aku sepertinya semakin karib dengan keyboard, monitor komputer dan laptop. Hape? Tak sering. beruntunglah aku sudah tak paketan, hanya mengandalkan wifi. SMSan? udah jarang.
Jadi proporsi membuka hape cenderung berkurang. Kalau di hitung dalam 24 jam. Mungkin cuma 4 jam. Main game di hape? Bukan hobiku! Menulis? Apa lagi... Aku jarang menulis, esensi kepuasan menulis itu didapat dari hasil tulisan tangan, menggunakan pena, bukan keyboards. Karena kelak itu akan jadi kenangan yang paling super dalam hidup kepenulisan kita.
------------------
Okey, cukup. Nanti dilanjt lagi. Insya Allaah
Tahun 2015 adalah tahun terbaikku menulis asal-asalan, ngawur, tulis apa aja yang muncul di otak, lupakan seni dalam menulis, diksi yang asal comot, EYD disepelekan, apalagi format subjek, predikat, objek, apa itu? Bahkan aku tak bisa membedahnya satu persatu.
Itulah sekelumit keeksisanku menulis di tahun sebelumnya.
Komentar
Posting Komentar