Hilal Ramadhan



Perkenalkan namaku Hilal, lengkapnya Hilal Ramadhan.
Mungkin diantara kalian bertanya, kenapa namaku Hilal Ramadhan? Jawaban yang paling kumengerti adalah saat ustadz di pondok menjelaskan dengan mudah bahwa namaku diambil mungkin kala aku lahir aku di akhir bulan Ramadhan, disaat itu kaum pencari hilal -untuk menentukan akhir Ramadhan- sibuk dengan hitungannya kapan shalat Idul Fitri dimulai. 
Yah, Hilal adalah sebuah nama yang paling laris dicari di akhir bulan Sya'ban atau pun di akhir bulan Ramadhan. Dan nyatanya memang demikian, bisa saja orang tuaku terinspirasi dari momen tersebut sehingga beliau tak payah mencari namaku lagi.
Aku masih muda...
Aku berusia 24 tahun, dan aku baru saja menyelesaikan S2 ku di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta di jurusan Studi Politik dan Pemerintahan Islam. Dan hari ini, tepat 40 hari aku menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi Islam di kota kelahiranku, Ngawi.
Menjadi dosen muda bukanlah perkara mudah bagiku, ditambah status single membuatnya makin tidak mudah, godaan kadang datang tidak hanya pada dosen perempuan yang juga single, bahkan ada beberapa mahasiswi semester akhir yang selalu saja memintaku untuk menjadi dosen pembimbing skripsinya. Dan kalian tahu, aku selalu menolaknya, dengan alasan, aku terlalu sibuk dengan penelitian lapanganku untuk persiapan melanjutkan pendidikan doktoralku di kampus yang sama, di UIN Yogyakarta.
Diantara mereka paling santer mendekatiku adalah bu Dewi, salah satunya. Dewi Ambarwati, M.Pd lengkapnya, dosen Bahasa Indonesia yang usianya 5 bulan lebih tua dariku. Tepat bulan depan adalah ulang tahunnya ke 25Penampilannya modis, dengan mode jilbab yang beraneka ragam ia kenakan tiap hari di kampus. Dengan mengenakan blazer yang berwarna-warni, tapi dengan make up yang minimalis, bahkan terkesan natural. Tapi satu hal yang aku kagiumi dari bu Dewi, ia tak pernah memakai parfum. Dia tahu diri. Meski begitu, dia tetap anggun. Ia lebih suka diam, dan tak banyak bicara.
 Setiap Senin dan Kamis ada saja makanan yang ia bawa, entah itu hanya sekedar kue atau makanan yang ia banggakan dengan memasaknya sendiri. Tapi pernah juga...
“ibu yang memasak khusus untuk pak Hilal berbuka puasa nanti” tanpa permisi bu Dewi langsung menaruh di mejaku, tanpa mengijinkanku sedikitpun menolaknya. Aku cuma bengong menatapnya keheranan.
Ibu yang dimaksud bu Dewi adalah ibu kandungnya yang bernama Dr. Hj. Anita Tunggadewi, L.C  tanpa kuduga ternyata adalah dosen pembimbing Tesisku di Yogya dulu, dan atas saran beliaulah aku melamar menjadi dosen di kampus ini sebab, selain menjadi dosen disana, beliau merupakan Pembantu Rektor di kampus dimana tempat aku mengajar.
Selama di Yogya aku sangat dekat sekali dengan beliau, jadi wajar bu Dewi tahu banyak tentang aku dari ibunya selain menjadi dosen pembimbingku rupanya beliau adalah teman seperjuangan almarhumah ibuku di Pondok Putri Gontor Mantingan, Ngawi. Bedanya dengan ibu, beliau melanjutkan studinya di Al Azhar, Kairo, Mesir.
“mbak Umi, almarhumah ibumu dulu adalah santriwati yang paling menonjol di Gontor Putri, siapa sih yang tak kenal dengan juara debat bahasa Inggris dan bahasa Arab, yang tulisannya sudah di muat di media massa Timur Tengah sana, mengkritisi kebijakan Invasi Amerika terhadap Afganistan waktu itu, ibumulah perempuan terdepan yang selalu menyemangati sahabat-sahabatnya, teman-temannya untuk terus berjuang di dunia pendidikan, kata ibumu dulu, “jangan mau kita dikalahkan dalam dunia pendidikan oleh kaum pria, kita berhak mengambil bagian kita, tetapi jangan lupakan fitrah kita sebagai perempuan, pendidikan yang baik akan menunjang fitrah kita””
Melalui beliau aku jadi tahu bagaimana hebatnya seorang perempuan bernama Umi Jannah, perempuan berdarah asli sebuah keluarga buruh petani miskin yang tak lekang semangatnya untuk belajar. Sebuah keluarga di sebuah desa yang lampu penerangannya adalah sebuah lampu ublik, peninggalan jaman PKI.
Dan tentang bapakku, terhitung sejak aku lulus SD belum pernah bertemu dengannya. “bapakmu merantau entah kemana, Hilal. Bapakmu cuma  bilang, mau merantau jauh dari desa, mau cari biaya sekolahmu dan buat makan kita sehari-hari” kata nenek saat aku telah berusia 15 tahun, tepat sehari setelah aku dinyatakan lulus SMA.
Dan tentang bu Dewi – aku hingga kini lebih sering memanggilnya ‘bu’ meski kadang lewat chat BBM ia melarangku menyebutnya dengan demikian – aku lebih sering menjaga jarak dengannya. Aku tak ingin bermain dengan apa kata orang yang dinamakan cinta. Aku tak ingin menikah dalam waktu dekat, dan aku tak ingin pula terikat secara emosional kepada perempuan. Pendidikan ketat ala pesantren telah membuatku mandiri dan jauh dari ketergantungan dengan seorang yang bernama perempuan.
Pengalaman teman-temanku semasa kuliah S1 tentang bagaimana kisah asmara mereka yang kadang terlalu mendramatisir dan akhirnya berujung pisah, dan bagaimana pula teman-temanku di pasca tentang lika-liku rumah tangga mereka dan bagaimana memanagemen konflik dalam rumah tangga, membuatku banyak belajar bahwa cinta tak bisa dipaksakan, ada saatnya sendiri Allah akan mempermudahnya, dan itu bukan dengan proses yang ribet.
---
“ping”
BBMku berbunyi
Aku lihat dari bu Dewi, sejak dari tadi pesan-pesannya belum aku balas. Aku masih sibuk dengan jurnalku yang jelang deadline. Sementara referensi buku di kampus tidaklah memadai dan akhirnya membuatku membelokkan sedikit dari bahasan yang tulis dari tadi.
“pak Hilal, kok cuma di ‘R’, sih? Sibuk bimbingan sama mahasiswinya, yah?”
Balasnya lagi
Dan tuduhan seperti yang membuatku ‘gatal’ ingin mengkonfirmasinya, bu Dewi paham betul aku tak suka dengan ‘tuduhan’ seperti itu, itulah triknya ketika aku lama tak membalasnya dan bisa berbahaya lebih lama jika aku segera tak mengkonfirmasinya bahwa hal itu salah.
“ma’af, bu Dewi, Hilal sedang membuat jurnal fakultas, salam buat bunda Anita, salam hormat saya kepada beliau, bu Dewi”
Tanpa menunggu di ‘R’ aku segera saja matikan Handphoneku.
Selalu saja ada gangguan disaat kritis seperti ini. Sudah hampir jam 12 malam, kurang dua jam lagi batas pengiriman jurnalku ke Jurnal kampus UIN, syarat untuk mendaftar di jenjang doctoral. Kalau tak terkirim tepat waktu, akan menjadi pertanda buruk pendaftaran S3ku. Diterima sih, iya, cuma prosesnya akan lebih panjang, jurnal harus dikirimkan langsung ke kampus oleh calon mahasiswa dan harus menemui sub pendaftaran S3 dan mengisi form keterlambatan pengiriman jurnal yang harus ditandatangani oleh 3 pihak.Dan tentu bukan perkara mudah 'sekedar' meminta ditandatangani lalu bersorak atas keberhasilanku.
---
Pagi itu, aku ada tugas dari fakultas untuk mendampingi mahasiswa yang PPL di Pengadilan Agama kota Madiun. Seminggu dua kali secara rutin aku menyambangi mereka dengan naik bus, sebenarnya bu Dewi keberatan aku naik bus, bahkan ia menawarkan mengantarku ke Madiun yang jaraknya tidak terlalu jauh, cuma 1 jam dari kota Ngawi. Tapi karena efek lelah dengan tugas-tugas dosen dan penelitianku akhirnya aku lebih memilih naik bus, dan menolak dengan hormat tawaran bu Dewi. Meski itu cuma sampai di jalan raya, aku tak ingin memberi kesempatan sedikit pun berdua dengannya dan memberikan celah baginya untuk berterus terang kepadaku.
akhirnya aku diantar oleh ketua BEM ke jalan raya terdekat yang dilalui bus yang menuju kota Madiun. Tanpa menunggu lama, bus yang aku tunggu tiba, untungnya masih ada tempat duduk tersedia, aku pilih seat duduk 2. Bus pun berjalan dengan pelan, sesekali kernet meneriaki penumpang "Boyo-boyo..." pemberhentian akhir bus ini adalah Surabaya, Surabaya seperti apa kira-kira? Sedewasa ini pun aku belum pernah menginjakkan kaki ku di kota Surabaya. Sejak SD, SMP, SMA dan nyantri di Gontor Ponorogo aku belum pernah menyambangi ibu kota Provinsi, hidupku terlalu sering berputar di Ponorogo, Ngawi, Yogyakarta dan sedikit Jakarta. Kata nenek bapak dan ibu dulu bertemu di Surabaya saat ...
"permisi...."
Lamunanku buyar terdengar saat suara perempuan dengan jaket berwarna merah jambu begitu dekat padaku, rupanya ia permisi mau duduk di sebelahku. Aku toleh depan belakang samping kanan rupanya sudah penuh semua, aku baru sadar ternyata aku khusyuk dengan lamunanku tentang Surabaya.
Dengan sigap aku langsung beringsut ke kiri, mendekat jendela. Memberi ia tempat duduk di sebelahku.
perempuan itu duduk disampingku, tas yang membebani punggungnya ia lepas dan dekap di pangkuannya. 
setelah ia merasa nyaman dengan duduknya, ia membuka handphonenya.
saat itulah aku baru tahu, perempuan non muslim duduk disebelahku, tato mungil di tepi jempolnya. Tato sebuah salib. Simbol kebanggan umat Kristiani.
"ma'af, mbaknya mau turun dimana?"
1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9... detik kesembilan ia jawab dengan pelan
"Surabaya, pak..."
"kalo begitu, tolong bisa berdiri sebentar, kita tukar tempat duduk, karena saya turun di dekat sini, lebih baik saya duduk di pinggir, jadi mbak bisa beristirahat tanpa terganggu pas saya mau turun nanti"
"oh..." jawabnya singkat dan langsung berdiri pelan-pelan, menerima ideku tentang pindah tempat duduk tadi. Diam, tanpa sedikit pun jawaban selain 'oh'.
 Dan bus masih melaju dengan kecepatan 60 km/jam. Sesekali kernet berteriak di ujung pintu sana...
"Halo, pa. Niken sudah naik bus, kurang lebih 5 jam Niken sampai di Bungurasih. Dan jangan biarkan Tian menjemput Niken seorang diri, Niken tidak mau!"
klik
handphone dimatikan.
Nada perempuan non muslim itu tak ramah kepada orang yang sebut ia papa. Dan siapa juga Tian, hingga membuat Niken tak memberi ijin dia menjemputnya seorang diri.
Apa Tian adalah pacar si Niken, perempuan yang duduk di sebelahku ini? Atau jangan-jangan teman? Ah, atau jangan-jangan tunangannya?
kenapa pula si Niken menolak dijemput Tian?
Duh, aku kok ikut terbawa suasana perempuan disebelahku ini. Ada apa gerangan denganku kok bisa 'peduli' dengan keadaannya? Seharusnya aku istirahat, bukankah setelah dari Pengadilan nanti aku harus segera memenuhi undangan pernikahan teman pasca di Sragen, pasti akan melelahkan
Seharusnya aku tidur barang sejenak pun...    
....
Lanjut besok,....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ini Ceritaku Hari Ini. Update

Ponorogo Punya Cerita (19 Desember 2014)

Cinta Dalam Diam ; Romantisme Cinta Ala Ali Bin Abi Thalib dan Fatimah