Hilal Ramadhan; Bagian Kedua


"ada apa, cak kok berhenti lama gini?" tanyaku pada kernet saat narik uang karcis
"ada kereta tebu mogok di tengah jalan, mas..." jawabnya sambil mencoret nama tujuan di karcisku, dan memberikannya padaku.
Sudah hampir 15 menit berlalu bus juga belum ada tanda jalan.
sementara itu perempuan disampingku sedang sibuk dengan handphonenya. Karena terlalu jengah dengan kondisi seperti ini akhirnya aku beranikan membuka percakapan dengan perempuan disampingku ini..
"masnya mau kemana?" tanpa kuduga seolah membaca mampu membaca pikiranku.
"emm..." 1, 2, 3, 4, 5 detik kemudian aku jawab
"mau ke Madiun, mbak... dan mbaknya sendiri mau kemana?"

"saya mau ke Surabaya
ke Madiun dimananya? Saya punya saudara di Madiun" koreknya lagi
Tak ingin terlalu intim, akhirnya aku jawab sekenanya saja.
"urusan pekerjaan, biasalah..." kata 'biasa' aku tujukan ke masalah umum, dengan harapan ia akan mengerti bahwa aku tak berkenan pertanyaan tentang itu dilanjutkan.
"masnya pengusaha? Usaha apa?" tanpa kuduga ia tak memahami maksud tersembunyi barusan yang kukatakan
"emmm..." bingung juga menjawabnya. Mau jujur susah kepada perempuan non muslim ini. Aku harus berbohong
"eee... Ada urusan di Pengadilan Agama kota Madiun" duh... Kenapa juga aku terus terang
"oooo..." ooh yang kedua lebih panjang dari sebelumnya, entah apa artinya.
suasana hening kembali. Aku diam, memikirkan mungkin ada kata-kata yang keliru saat berbicara dengannya sehingga membuatnya tak lekas menanggapi jawabanku.
bus sudah mulai berjalan dengan pelan. Penumpukan kendaraan di kedua sisi jalan membuat bus tak bisa 'lincah' seperti biasanya. Jarak Ngawi - Madiun yang umumnya ditempuh dalam 30 menitan, mungkin kali ini bisa molor dari biasanya. Sementara jam tanganku menunjukkan angka 10.30.
Sementara itu, suara klakson tak henti melekik.
---

"jangan lupa al Kahfinya sebelum tidur, Hilal" pinta ibu sesaat aku membereskan buku-buku yang berserakan di tempat tidur. Alas tikar dan sebuah bantal kumal itulah yang kusebut dengan tempat tidur. Meski bersinggungan langsung dengan tanah aku seperti halnya, ibu juga menikmatinya.
"njeh, buk" jawabku
"ingat, setiap malam, atau bahkan setiap bakda kamu selesai shalat fardhu, sempatkanlah mengaji, sesibuk apa pun kamu, sempatkanlah. Barang satu lembar, atau bahkan satu ayat pun tak apa, kelak, disaat ibu tiada, suara ngaji dan do'amulah yang hanya ibu dengar.
Syukur-syukur kalau kamu hafidz, nak. Ibu dan bapakmu akan sangat bangga kepadamu.
tapi ibu tak akan memaksamu, cukuplah kamu rajin shalat, ngaji dan baik kepada sesama itu sudah membuat ibu dan bapakmu bahagia...
Tiap hari kita ditantang untuk menjadi juara dalam kebaikan. Kita harus menjadi pribadi yang paling memberikan manfaat kepada orang lain, jangan pernah melihat dirimu siapa, biar pun kita miskin, tak punya harta, kita harus tetap membuat diri kita bisa bermanfaat, memberi itu bukan soal dengan materi. Tetapi dengan kebaikan, motivasi kebaikan untuk orang lain, semua ada jalan, nak. Jangan pernah merendah diri, jangan berputus asa dari rahmat Allah. Jangan jadikan kekurangan menjadi penghalang kita untuk terus berbuat baik.
"tapi, bu, kalo ada yang menjahati kita apa kita juga harus membalasnya? Padahal kita tak berbuat jahat padanya, bu. Seperti yang dilakukan Ari tadi pagi padaku, dia mencemooh ngatain aku anak miskin, sepatu yang penuh tambalan ia injak"
"ingat, nak! Apa pun yang orang lain pada kita, jangan pernah membalasnya dengan keburukan pula. Kalau ada yang melakukan itu padamu, segera adukan ke ibu guru. Ingat! Ibu tak akan ridho jika sedikit pun kamu berbuat buruk kepada orang lain. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Ibnu Majah
apabila Allah mencintai seorang hamba, maka Dia akan mengujinya. Jika hamba itu bersabar dan ridha, maka Dia akan memilihnya menjadi kekasihNya"
"iya, bu. Hilal akan belajar anak yang baik, bagi bapak ibu, bagi kakek nenek, teman-teman bahkan pada Ari yang telah menginjak sepatuku. Aku tak akan marah, aku tak akan membalasnya..."
"hingga kamu dewasa nanti, disaat kamu memutuskan siapa jodohmu. Hingga akhirnya kamu menjadi seorang bapak, pemimpin rumah tangga kamu harus menanamkan sifat-sifat kebaikan sejak dini pada anakmu kelak..." lampu ublik ditiup, gelap.
"mas... mas... "
suara perempuan sangat dekat denganku, bahuku digoyang pula.
"mas.. mas... Sudah sampai Jiwan. Sudah hampir sampai Pengadilan."
aku baru sadar, kalau aku barusan mimpi bertemu almh. Ah... tidak, aku sangat mengenali adegan saat membereskan bukuku yang berserakan. Ibu hadir lagi dalam mimpiku. Saat yang paling kurindukan dalam setiap tidurku.
aku masih belum sepenuhnya terjaga. Rasa lelah dan kantuk tak tertahan membuatku lambat sadar dimana sedang dimana.
"mas... Sudah sampai Jiwan, loh! Nanti kebablasan tau rasa, deh..."
"oh iyya... Ma'af. Aku tertidur barusan."
"iya, aku tahu. Masnya tadi tidur mengigaunya lucu, "njeh bu, njeh bu", emang mas mimpi tentang apa kok bisa gitu" akhir kalimat ia bumbui dengan seperti tawa kecil
ternyata segitunya aku bermimpi hingga membuat perempuan di sebelahku tahu. Baru kali ini sepertinya aku mengalami hal demikian. Atau jangan-jangan memang sering aku mengigau tapi tak ada yang berani menegurku atau memberitahukannya padaku. Aduh, semoga saja ini yang pertama kalinya aku berbicara tanpa sadar saat tidur.
"panjang ceritanya, mbak"
"Niken... panggil saja Niken. Ini kartu namaku." kusambut kartu yang ia berikan lalu ia menjulurkan tangannya mengajak bersalaman, tato bergambar salib itu semakin jelas dimataku, Aku langsung dekapkan tanganku, memohon maaf, isyarat aku tak bisa menerima ajakan salamannya. ia memperhatikan tatapan mataku, tahu apa yang ia tatap. Ia tarik tangannya pelan. Lalu tersenyum.
hening sesaat. Bus sudah berbelok ke kiri, menuju ring road Madiun, di tepi jalan Ring Road itulah Pengadilan Agama Kota Madiun itu berada, dan tentunya itu menjadi perpisahan kami, aku dan perempuan yang memperkenalkan dirinya dengan nama Niken ini.
bus masih ngetem di pertigaan menuju Ring Road. Aku ambil sebuah buku, dan menyobek kecil bagiannya.
"Aku Hilal... ini nomor handphoneku
terima kasih sudah menjadi teman perjalananku, meski singkat dan tak berarti."
ucapku sambil tersenyum tanpa menatap wajahnya. Sementara sedari tadi ia sapukan pandangannya di jendela bus.
"Njeh, mas Hilal" ia sedang mencoba becanda dengan mengulang igauan tidurku tadi.
aku tersenyum. Lalu aku mohon diri dan berjalan pelan ke pintu depan. Bus berjalan pelan saat aku memberitahu tujuanku yang sudah kelihatan dari jauh.
"kiri kiriii..." teriak kernet disebelahku.
Bus berhenti, aku turun. Saat bus mulai berjalan pelan, sekilas aku lihat perempuan itu menunjukkan sesuatu di kertas yang ia tempelkan di kaca bus. Jelas sekali tulisannya.
"TETAP BELAJAR MENJADI ANAK BAIK"
"......"
------
Tiga minggu berlalu sejak pertemuanku dengan perempuan di bus, dan sejak itulah kartu nama itu masih nyaman tersimpan di dompetku. Tak terusik sedikit pun.
Dan hidupku masih terus berlanjut, yah itulah kodrat sebuah kehidupan. Kita tak pernah bisa menolak untuk dilahirkan di dunia ini, pun kita tak akan bisa menolak meninggalkan dunia ini dengan catatan yang kita bawa. Baik atau buruk saat di dunia adalah sebuah pilihan, tapi yang pasti, kematian taklah demikian. Kita tak akan pernah bisa meminta menunda kematian atau bahkan meminta dalam keabadian. Tak akan bisa.
"suatu saat kita pasti akan menemui ajal, tapi yang paling penting adalah apa yang telah kita persiapkan sebelum ajal itu tiba! Ingat 7 perkara yang baginda Nabi katakan?"
"insya Allaah, hidup sebelum ajalmu itu salah satunya..."
"hadist ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda : “bersegeralah kamu sekalian untuk beramal sebelum datangnya tujuh hal, apakah yang kamu nantikan kecuali kemiskinan yang dapat melupakan, kekayaan yang dapat menimbulkan kesombongan, sakit yang dapat mengendorkan, tua renta yang dapat melemahkan, mati yang dapat menyudahi segalanya, atau menunggu datangnya Dajjal padahal ia adalah sejelek jelek yang ditunggu, atau menunggu datangnya hari kiamat, padahal kiamat adalah sesuatu yang sangatberat dan sangat menakutkan ! “.
kalimat pak Basith begitu teduh sore ini, sambil menunggu jam mengajar berikutnya, 15.20. Di lantai dua, dua kursi lengkap dengan mejanya menghadap persawahan luas, angin yang bertiup pelan jelang sore itu cukup bersahabat bagi kami. Secangkir teh hangat menemani obrolan kami tentang kehidupan. 
Pak Basith adalah rekan kerja paling akrab denganku. Beliau merupakan dosen senior, mengabdi di kampus ini kurang lebih 20 tahun, sejak kampus ini berdiri. 
Ilmu Kalam, Filsafat Hukum, Ushul Fiqh, Tafsir Al Qur'an adalah mata kuliah yang diampu oleh beliau. Beliau pernah menjadi dekan fakultas Syariah, baru dua tahun kepemimpinan beliau berakhir. Selain menjadi ketua Yayasan Al Hikmah, yayasan dimana kampus ini bernaung, beliau juga merupakan pengasuh pondok putri Gontor Mantingan.
Sering kami berbincang dengan beragam topik, bahkan aku tak segan curhat pada beliau tentang bu Dewi yang selalu mendekatiku dan meminta sarannya bagaimana aku harus menyikapinya. 
"nak Hilal" begitu ia memanggilku 
"hanya dua pilihan, jika njenengan menyukai bu Dewi, segera temui walinya. Tapi jika njenengan tidak suka atau tak memiliki perasaan sedikit pun kepada bu Dewi, perkuat hati njenengan untuk tetap berkhusnudzan terhadap apa yang bu Dewi, anggaplah beliau sebagai rekan kerja seperti lainnya, yang saling mendukung untuk kebaikan nama kampus ini. Tetapi, jangan pernah mendobrak etika hubungan pria dan wanita dalam Islam, tidak ada khalwat, jangan pernah berdua-duaan, kecuali njenengan ajak orang ketiga, kalau tidak begitu setan akan menjadi teman njenengan dengan bu Dewi. Selalulah ingat Allah dalam laku njenengan di kampus. Serahkan semua kepadaNya. Insya Allah ada jalan terbaik yang Allah buka untuk njenengan."
"insya Allah, kyai..." lengkapnya KH. Basith Junaedi, Lc.
"saya takut setan akan menjerumuskan saya, kyai. Makanya saya lebih memilih pasif. Takut salah bertindak jika sedikit saja berani mengambil tindakan. Bukankah perempuan sifat sensitifnya tinggi jika seorang pria yang ia suka berbuat sesuatu. Padahal itu cuma perbuatan biasa-biasa. Sangat biasa saja.
Contohnya saat bu Dewi menaruh sekotak kue di meja saya, saya mengucapkan terima kasih padanya. Dan malamnya bu Dewi mengungkap rasa terima kasih sebagai ucapan terindah seharian penuh. Duh, ini kan bahaya ketika seorang perempuan yang sedang dilanda api asmara tanpa sengaja terpercik setetes bensin, maka ia akan membesar. Bukankah demikian kyai?"
Pak Basith tersenyum, ia menggeleng maupun mengangguk. Ia tetap tersenyum. Pandangannya ia lempar ke sekelompok mahasiswa yang sedang duduk melingkar di taman. Mungkin ia sedang berdiskusi
"saya juga dulu pernah seperti njenengan, pak Hilal. Tapi beruntungnya saya tak mengalami apa yang njenengan dapati saat ini. Saat itu alm. abah saya, KH. Rahman Junaedi langsung menanyai saya, 
"kamu nikah malam ini, tidak?"
"kulo, abah? Malam nanti? Sama siapa, abah? Kenapa begitu mendadak?" tanyaku beruntun saat abah menawariku menikah, saat itu saya ingat, saya sedang mempersiapkan barang dagangan yang mau dijual di pasar Kliwon.
"Jika, tiba pagi hari, jangan menunggu sore hari. Jika sudah waktunya tak pantas lagi ditunda-tunda lagi, jika seorang baligh dan siap menikah maka tak ada alasan menundanya. Kebaikan tak baik untuk ditunda. Ingat usiamu sudah waktunya menikah. Jangan berdagang terus menerus, jangan mengaji terus menerus, ada perintah Rasulmu yang harus kamu penuhi, harus kau sempurnakan separuh agamamu ini, nak" aku terdiam. Memikirkan jika aku jadi menikah, perempuan mana yang bakal mau menerimaku. Pilihan menjadi dosen bukanlah pilihan pekerjaan yang menguntungkan dari segi ekonomi.
Dulu aku bisa melanjutkan pendidikan S1 hingga S2 berkat beasiswa bukan karena warisan orang tua, apa yang mau diwariskan dari keluarga buruh tani?. Ustadz Syukron, pengasuh pondokku paling berjasa atas semua pendidikan yang aku t dulu mengikutkan Beasiswa Santri Berprestasi Kemenag. Saat wisuda aku mendapatkan predikat lulusan terbaik se fakultas, dengan begitu aku ditawari lagi mendapat beasiswa ke S2 di almamater yang sama, karena tak ingin kesempatan yang terlewatkan, akhirnya aku ambil beasiswa itu hingga akhirnya lulus S2 dengan predikat mumtaz, atau lulusan terbaik. Saat itu dekan Fakultas Syariah, Prof. Abdul Hamid menawariku untuk menjadi dosen, tapi aku menolaknya dengan alasan aku ingin mengabdi dulu di tanah kelahiranku, padahal akan sangat menguntungkan menjadi dosen disana. Gaji yang memuaskan dan rekan kerja yang mayoritas sudah kenal semua. Tapi semua aku tolak, cintaku akan tanah kelahiranku memilihku mengabdi dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada padanya.
10 dasawarsa lebih aku 'meninggalkan' tanah kelahiranku untuk mengenyam pendidikan informal dan formal. Selepas SD aku sudah disarankan masuk pesantren, wasiat almh ibu, dan bapak juga mendukung. Pesantren Darul Istiqamah yang terletak di Sragen menjadi pilihan bapakku, selain tidak jauh dari Ngawi, pesantren itu terintegrasi dengan pendidikan formal, seperti jenjang MI (Madrasah Ibtidaiyah) hingga MA (Madrasah Aliyah).

"memang njenengan mpun wayahe, pak Hilal..." kekeh kyai Basith sambil menyeruput secangkir tehnya yang tinggal setengah.
"tapi saya belum mau menikah, kyai..."
"memang syariat tak bisa memaksa njenengan, ada lima macam hukum taklifi dalam pernikahan Islam..."
"loh, bukane hukum menikah itu satu, dan itu wajib, kyai? Setau saya memang begitu..."
"sekali-kali njenengan buka bab pernikahan, di Ihya' Ulumuddin, Uqudul Jain, bahkan kalau perlu Qurratul Uyun njenengan baca dan pahami sampe khatam, jangan cuma kitab Fiqh Siyasah saja yang njenengan buka. Sekali-kali njenengan perlu 'membuka mata' khazanah keilmuan kita. Islam itu sangat luas, menyentuh segala sendi kehidupan manusia, pak Hilal"
aku tertawa pelan mengakui kebodohanku tentang pernikahan dalam Islam.
"insya Allah, kyai..."
"kalau njenengan ada waktu, monggo mampir di gubuk saya, sebrang jalannya pesantren Gontor Putri... Mantingan sana, njenengan perlu coba tempe mendoan buatan istri saya, saya jamin njenengan ketagihan... insya Allaah"
kyai Basith terkekeh, pelan. Aku pun demikian.
perbincangan sore itu berakhir saat speaker masjid kampus memutar surah Al Qashas, tanda adzan Ashar akan segera berkumandang. Dan seperti biasa, kyai Basith lah yang sering mengimami shalat berjama'ah di masjid kampus. Tak heran, beliau merupakan hafidz sejak berusia 20 tahun.
----
 -
lanjut besok... Hilal Ramadhan Part III

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ini Ceritaku Hari Ini. Update

Ponorogo Punya Cerita (19 Desember 2014)

Cinta Dalam Diam ; Romantisme Cinta Ala Ali Bin Abi Thalib dan Fatimah