Safari Lebaran 2014

ini tulisan kesekian gua yang tidak pernah gue publish di medsos manapun, menurut lazimnya gue menulis, gue selalu meski tidak selalu iya, gue posting di Fb gue. Seperti nulis cerpen tiada akhir dan tiada ujungnya gue posting di Fb terkatung-katung karena belum ada endingnya... Padahal sudah ada yang menanti-nanti lanjutan cerpennya... Ide menulis gue lagi seret banget saat itu buat nerusin cerpen yang kadang gue mulai tulis ketika inspirasi itu muncul tiba-tiba atau tiba-tiba gue pengen nulis tentang cerita ini, dan isi otak berseliweran bagai lalu lintas padat yang tak tahu yang mana gue harus pilih.
dan dibawah ini adalah catatan gue saat lebaran kemarin... Gue nulis sih udah lama banget.. Agustus kemarin, insya Allah...


Pertama Kali Mudik tahun 2003
Alhamdulillaaah, lebaran telah tiba, mohon ma’af lahir dan batin untuk semua ya… Baik kenal maupun tidak, karena saling mema’afkan itu keren! Insya Allaah…
Lebaran yang diperingati setiap tahun sekali mempunyai budaya yang unik, salah satunya yaitu mudik. Yupp! Mudik!! Mudik dan lebaran tak bisa dipisahkan, historisnya panjang. Dan aku baru merasakan benar-benar mudik ketika aku masih duduk dibangku MTs (setingkat SMP) kalau gag salah pertengahan tahun 2003, awal-awal masuk MTs dan baru memulai kehidupan yang bersejarah di Ngawi pada tahun tersebut, karena sebelum tahun itu, aku lebih menghabiskan waktuku di Surabaya. Menjelang lebaran tahun 2003, aku masih ingat, saat itu aku dianter dari rumah (tempatku menumpang di desa), Kendal, hingga terminal Ngawi naik motor sama paman (pak lek – Bahasa Jawa). Diwanti-wanti hati-hati di dalam bis, saat itu aku baru berusia 16 tahun (insya Allaah) dan baru pertama kali mengadakan perjalanan jauh sendirian tanpa ditemani keluarga atau saudara, aku sudah lupa bagaimana perasaanku saat itu, takut atau senang dan sebagainya. Karena bagiku itu bukan sebuah momen yang menarik untuk aku ingat. Yang paling menarik adalah saat aku kembali dari mudik ke Ngawi. Aku sampe’ terminal Ngawi kemaleman, dan akhirnya ingah-ingih didalam terminal yang saat itu sepi banget, gelap, hanya lampu kios-kios yang nyala itupun gag terlalu terang. Karena aku baru pertama kali merasakan kemaleman,  aku menjadi galau, gag tau bagaimana caranya bisa sampe rumah. Motor jaman segitu belum sebanyak sekarang. Dan pom bensin didepan terminal juga belum ada. Jadi suasana terminal amat menyeramkan, sebuah tanah lapang luas dengan penerangan yang minim, nyamuk merajalela, angin wwuuusss!!
            Dan, akhirnya ada tukang ojek yang nyamperin, dengan usaha diplomasinya yang meyakinkan ala tukang ojek, dan ancaman suasana terminal yang menyeramkan akhirnya aku lebih menerima tawaran ongkos tinggi yang harus aku keluarkan untuk mengantarkanku sampe ke tempat tujuanku. Pukul 11 malem (kalau gag lupa) aku sampe di Kendal, di rumahku, tempat aku berteduh sementara. Dan keesokan harinya aku dibilangin, kalau ongkos segitu sangat mahal, pernah ada yang senasib denganku tapi ongkosnya setengah dari ongkos yang aku keluarkan. Dalam hati berkata, yaahh, eemaan banget… Seusia gitu aku belum bisa berpikir dewasa. Masih berpikir pendek. Belum ada cerdas-cerdasnya. Sekarang masih.
            Lebaran kedua, setahun berikutnya tahun 2004. Aku mengalami hal yang sama, kemaleman. Tapi aku lebih memilih tidur di terminal. Saat sampe’ di terminal aku punya teman yang juga kemaleman. Dia anak SMK yang PSG di Solo, saat itu aku gag tahu PSG itu apa, aku kira PSG itu nama sebuah sekolah. Jadi aku manggut-manggut ae dia bilang gitu. Dia cowok, saat itu aku masih MTs dan dia SMK, tapi entah SMK mana aku juga lupa. Kami ngobrol banyak, tapi gag tau apa yang diobrolin, aku sendiri juga lupa. Yang aku ingat, kita senasib, kita ke warung di pinggir jalan raya, biasanya tempat nurunin penumpang dari arah Solo. Setelah dari warung kita sepakat tidur di dalam terminal. Depan kios terminal yang paling dekat dengan pagar itulah menjadi lokasi eksekusi rasa kantuk kami, meski cuma di kursi kami berharap kami segera tidur dan melewati malam yang panjang ini. Dan benar, kami pun tidur dengan serangan nyamuk yang datang bertubi-tubi, dan jam berapa saat itu aku lupa, aku mendapati dia sudah tidak ada di kursi kayu disebelahku. Aku tinggalkan tempat itu dan langsung menuju kursi tempat tunggu penumpang yang biasa digunakan oleh para penumpang atau penjemput untuk menunggu bus datang. dan kebetulan tidak hanya aku yang tidur disana, ternyata pengemis, tukang asongan, tukang sapu atau bersih-bersih juga disana. Tanpa banyak pikir, akhirnya aku mengikuti jejak mereka tidur disana hingga suara mesin bus mengganggu tidurku dan setelah bangun beberapa menit, bus jurusan Simo muncul juga. Akhirnya aku bisa pulang dengan bayangan selimut, dan bantal akan membantu mengantarkanku mimpi indah. Alhamdulillaah..
Dan sekarang, setelah beberapa tahun lamanya, perjalanan mudikpun bisa aku konsep sedemikian rupa. Kalau dulu, tergantung dengan angkutan umum, sekarang aku sudah bisa mudik dengan harapan yang aku inginkan tanpa harus bergantung dengan angkutan umum lagi. Dan alhamdulilllaah, untuk lebaran 2014 ini, aku bisa mudik dengan selamat mulai dari keberangkatan di Surabaya dan berakhir di Surabaya pula.
Perjalanan Mudik yang Mengesankan
Sabtu, 26 Juli 2014. Sekira pukul 10.00 pagi.
Aku mulai dengan ucapan basmalah dan tentunya setelah berpamitan dengan Umik, tujuan pertamaku adalah makam Sunan Ampel, Surabaya. Kurang lebih 15 menit aku disana. Setelah dirasa cukup berdo’a meminta kepada Yang Maha Kuasa, perjalanan dilanjutkan ke Gresik, Sunan Giri adalah lokasi terdekat selanjutnya dari tempat tujuan pertamaku. Yuupp! Inilah perjalanan mudik sekaligus ziarah wali Wolu (delapan). Karena tujuan mudikku di Demak, Jawa Tengah, dan kalau dimulai dari Surabaya sudah pasti tentu akan melewati beberapa daerah yang menjadi peristirahatan terakhir para wali tersebut, wali Wolu. Terkenalnya sih wali songo, namun karena Syarif HIdayatulllaah makamnya berada di Jawa Barat, Cirebon, kemampuanku cuma sebatas wali wolu saja, dan itupun aku sudah bersyukur banget, masih diberi keselamatan dan kesehatan hingga tulisan ini bisa dikonsumsi.
Oke lanjut, selesai dari Sunan Giri, lanjut ke Sunan Maulana Malik Ibrahim yang berada tak jauh dari alun-alun kota Gresik. Karena waktu yang menjelang sore hari, aku mau tak mau harus memacu kendaraan roda duaku lebih cepat. Karena aku mentarget, paling ndak sampe’ Sunan Kalijogo bakda Isya, sekira jam 9an malam… namun karena aku tidak memperhitungkan waktu berangkat dan akses lokasi beberapa makam yang belum aku ketahui, target tersebut akhirnya meleset juga. Menyudahi ziarah di makam Sunan Drajad ketika adzan ashar, karena masih teringat target, akhirnya aku langsung saja kebut menuju Tuban, lokasi berikutnya, Sunan Bonang. Jam menunjukkan pukul 3 sore saat aku meninggalkan Sunan Drajad, dan satu jam lebih setelahnya aku sampai di Tuban, Sunan Bonang, setelah cuci muka dan wudhu, aku shalat disana. Waktu menunjukkan jelang pukul 5 sore, dan aku harus segera melanjutkan perjalananku ke kabupaten Kudus, Sunan Muria atau Sunan Kudus aku belum tahu dimana persis lokasinya, seingatku, terakhir aku kesana dekade tahun 90an. Dan tak mungkin aku mengingat jalannya dengan sempurna.
Kalian tahu bukan Tuban itu adalah sebuah kabupaten yang berbatasan langsung dengan Jawa tengah dan berbatasan langsung dengan pantai? Berbicara mengenai pantai, jalan menuju Jawa Tengah akan melewati deretan pantai, seperti disekitar terminal lama, disana banyak ditemukan kapal-kapal nelayan, dan tempatnya persis berbatasan langsung dengan pinggir jalan raya, jadi ketika kalian melewatinya kalian bakal disuguhi pemandangan kapal nelayan, penjual makanan, mayoritas bakso sih, dan pengendera motor yang menikmati semilir angin pantai Tuban, kalau kalian ingin lebih menikmati hal yang lebih dari ini, kalian bisa lanjut terus perjalanan hingga mencapai terminal baru Tuban, setelah terminal bakalan ada pantai yang bagus banget. Pasir berhamparan dan banyak pohon yang tumbuh disekitar pantai, jarak dari jalan raya menuju pantai kurang lebih cuma 100 meter, sebenarnya tergoda juga ingin mampir menikmati semilir angin laut bersama pengunjung lainnya. Namun karena tujuan masih jauh banget, akhirnya cuma bisa melihat dari jauh kebahagiaan pengunjung yang terlihat dari jauh.
Perjalanan masih berlanjut…
Adzan maghrib berkumandang, saat itu aku baru saja meninggalkan Provinsi Jawa Timur. Beruntungnya Jalan Pantura tidak sepadat jalur pansel yang menguhubungkan Surabaya – Jogja. Jalanan cukup lengang, dan lebar seperti jalan tol. Sempat bingung mau buka puasa dimana, tiba-tiba teringat liputan makanan khas yang dijual di sekitar Sunan Kudus, akhirnya setelah buka puasa ringan ala kadarnya dan shalat di sebuah Masjid di Rembang Jawa tengah aku langsung menuju Kudus, sempat tergiur oleh beberapa penjual makanan yang berada di pinggir jalan. Seperti Mie Ayam, Nasi Goreng dan beberapa menu lainnya. Namun karena teringat liputan dan ingin merasakan makanan khas di Sunan Kudus, aku jadi semangat. Dan akhirnya setelah sampe di Kudus, aku mulai bertanya-tanya kepada orang tentang lokasi terdekat yang bisa aku capai pertama kali, Sunan Kudus dulu atau Sunan Muria, akhirnya Sunan Kuduslah yang pertama, setelah muter-muter berapa lamanya mencari dimana arah menuju lokasi makam Sunan Kudus, pukul 9 malam aku sampai didepan menara Kudus!! Yeaah! Alhamdulillaaah... Belasan tahun silam aku dan almarhumah umiku pernah kesini, dengan kondisi yang berbeda tentunya. Saat akan memasuki lokasi menara Kudus, jalanan begitu rame, rame penjual dan pembeli yang berjejal. Macet. Jalan kecil dipaksa memuat kendaraan yang berlalu lalang dengan padatnya karena esoknya dipastikan akan menjadi puasa terakhir di bulan Ramadhan. Tapi, aku begitu kaget saat masuk ke areal makam, ternyata tidak seramai diluar. Oh ya, kondisi seperti itu tidak hanya terjadi di Sunan Kudus saja, tetapi hampir semua makam Sunan yang aku kunjungi, kecuali Sunan Drajad, dan Sunan Ampel. Di Sunan Drajad kebetulan aku tidak melewati jalur keluar yang seharusnya untuk peziarah, aku keluar dimana aku masuk. Padahal dijalur keluar akan ada stand-stand oleh-oleh bagi para peziarah. Dan seingatku, parkiran bus yang biasanya rame, sepi deh. Tapi kalau di Sunan Ampel, kebetulan rame, didalam areal makam rame dan diluar pun juga rame.
Kembali ke Kudus. Sebelum aku masuk ke areal makam dan seusai shalat Isya’ (kebetulan malam itu aku gag tarawih, hehehe) aku berkeliling ke jalan sekitar lokasi menara Kudus. Aku mulai mengingat-ingat dimana liputan televisi itu berada, di warung manakah gerangan. Setelah muter 1 kali, aku tidak mendapatkan apa-apa. Sebenernya pengen ngerasain tahu gimbal yang banyak dijajakan sekitar kota Kudus, tapi saat itu aku gag menemukan di sekitar makam, aku hanya menemukan Kerang Rebus dan beberapa makanan lainnya yang sudah familiar dan kebetulan aku gag terlalu suka. Akhirnya aku memilih warung nasi goreng lesehan yang tadi sempet aku lewatin. Saat pertama duduk, pandanganku langsung menuju ke seberang jalan. Buju busyeeett… Seharusnya aku berada disana daripada disini, kari ayaaamm, meeenn!! Itu makanan kesukaanku. Aku gag suka ayamnya tapi aku suka kuahnyaaa!! Tapi apa daya, nasi goreng sepiring sudah dipesan. Tak special-special amat sih rasanya, malah lebih enak kalau aku masak dewe. Daripada memaki kebodohanku terlalu lama, aku bertanya-tanya pada orang disekitar situ tentang jalan menuju Sunan Muria, setelah dapat penjelasan panjang lebar, akhirnya aku tahu. Dan segera saja, aku tunaikan ziarahku di makam Sunan Kudus. Keluar dari makam, gerimis datang tak diundang. Tapi tidak terlalu.
Sekira Pukul 21.30
Gerimis ringan mengguyur kota Kudus dan sepanjang perjalananku ke arah makam Sunan Muria. Perlu kalian tahu, dan mungkin sebagian sudah tahu bahwa Sunan Muria berada di kompleks Gunung Muria (1.602 meter). Persisnya berada di ketinggian berapa makamnya aku juga kurang tahu, yang aku tahu malam itu dalam perjalanan menuju ke gunung Muria tak banyak aku temukan kendaraan yang berlalu lalang, sepi banget!! Sempat terpikir olehku kalau aku kesasar, biasanya jalanan rame kalau menuju sebuah makam wali entah nanti rame diluarnya atau sepi didalamnya yang penting jalanan menuju kesana rame, tapi ini enggak banget!! Sepi bangett. Apalagi saat memasuki kompleks menuju makam yang tanjakannya melebihi menuju kompleks, dan lebarnya hanya seperkian meter, seperti gang-gang sempit yang banyak dijumpai diperkotaan yang hanya muat untuk dilalui dua motor, mobil jangan harap bisa naik dan lewat dan bahayanya sekali saja lengah, siap-siap aja meluncur ke bawah, alias jurang!!. Saat itu aku ragu bangett, jujur ragu banget, jalan yang aku lalui bisa saja keliru karena tak ada penunjuk arah menuju makam yang aku temui, atau mungkin saja ada tapi aku yang gag melihatnya, kondisi itu diperparah dengan jalanan masih basah dan gerimis ringan, dan jalanan yang sepi! Selama masa pendakian mengendarai motor aku hanya berpapasan dengan 1 motor! Dan, gag aku temukan rumah-rumah/stand-stand penjual yang biasa aku temui di sekitar lokasi menuju makam. Negatif thinking bergantian muncul diotakku, mulai dari ancaman begal, kesasar, ban bocor, membonceng mahluk ghaib, kepleset karena tikungannya tajam banget tak jeda untuk tanjakan, serba menanjak! Gas tak henti-hentinya aku tarik, rem sekenanya aja karena takut terpeleset. Sempat terpikir olehku untuk kembali turun saja namun karena sudah tekat, dan belum menjawab kegelisahanku apakah ini benar menuju kompleks makam atau bukan? Aku harus tanya siapa? Google Map? Awal dari kesuksesan kata orang bijak adalah meyakini diri sendiri! Yupp! Seperti itulah!.
Ada baiknya perjalanan malam itu, aku bisa menikmati kerlap-kerlip kota Kudus dari kejauhan, dan aku tak mau terlena dan menghentikan laju motorku, gag!! Harus ketemu dulu makamnya baru nikmati pemandangan waah malam itu! Dan, segala puji bagi Allaah! Alhamdulillaah, akhirnya aku sampai juga pada makam Sunan Muria atau yang  dikenal Raden Said. Saat sampai sana, aku bergegas memarkirkan motorku, tidak ada tukang parkir disana, hanya ada penjaga toilet yang berada dibawah kompleks menuju makam.
Saat aku menuju kesana, aku kagum dengan arsitektur dalamnya, kerenn! Kalau ada yang pernah kesana mungkin kekaguman kita sama, ruangan dalam yang megah dan unik, bangunan stand-stand, lokasi masjid dan makam yang menyatu. Keren banget dibandingkan makam sunan-sunan lainnya, mungkin karena dia berada di gunung yang membuatnya menjadi unik, oh ya, perlu diketahui bersama Sunan Giri Gresik itu bukan berada gunung meski menuju ke lokasinya menanjak, tanjakannya ringan, tapi di sebuah bukit, bukit giri namanya, ada perombakan besar-besaran disana, khususnya tangga menuju makam, megah juga diluar. Untuk kompleks makam tak ada perubahan saat aku menginjakkan kakiku disana 2011 silam.
Kondisi saat itu malam hari, tepatnya jelang tengah malam, dingin bangettt! Gerimis menjadi tinggi intensitasnya ketika aku baru mau keluar menuju makam, dan akhirnya gag jadi, dan menuntunku ke toilet yang tak jauh dari sana. Saat menuju parkiran, ternyata sepedaku tak bisa keluar karena dihalangi oleh pengendara motor peziarah, setelah sekian lamanya akhirnya bisa juga aku turun dan segera menyiapkan kamera saku yang aku bawa. Tengah malam aku turun dari pendakian gunung muria, setelah melewati jalan sempit dan penuh waspada, akhirnya aku pacu kendaraanku kurang lebih 90 km/jam, karena jalanan sepi dan menurun, kondisi jalan sudah agak kering, bagus juga dan lebar tidak seperti diatas.
Minggu, 27 Juli 2014
Wellcome to Demak 00.30
Alhamdulillaah, sampai juga di Sunan Kalijogo meski ditengah jalan tadi sempat menguap beberapa kali, ngantuk gag ketulungan, karena kondisi jalan yang sepi banget karena sudah malem dan hawa dingin yang begitu keras hantamannya. Tepat pukul 01.30 aku sampai di makam, pagi buta saat itu untuk ukuran makam tidak terlalu sepi-sepi amat, banyak peziarah yang tiduran, atau sekedar ngobrol di areal makam, atau kalau kalian lebih jeli melihatnya bakal mendapati peziarah yang sedang khusyuk di tempat-tempat gelap disekitar makam. Dan akhirnya, setelah mencapai makam Sunan yang kedelapan, maka secara resmi berakhirlah petualanganku berziarah ke Wali Wolu sekaligus perjalanan mudik. Alhamdulillah banget bisa menyempurnakan perjalananku yang memakan waktu berbelas jam ini. Mulai dari Surabaya hingga Demak, Jawa Tengah. Dan aku beruntung banget pernah punya umi (ibu) yang dilahirkan di kota Wali ini, sebuah daerah yang dulu terkenal dengan kerajaan Islamnya yang besar di Tanah Jawa. Dan aku bersyukur masih punya nenek yang masih sehat dengan usianya yang hampir mencapai satu abad, insya Allah. Yang setiap hari merindukanku dan selalu didatangi oleh almarhumah umiku menurut penuturannya sendiri.
Oke, secara resmi dah selesai dan terwujud ziarah ke Wali Wolu, sempat terpikir untuk pulang ke rumah saudara, tapi jam menunjukkan tengah malam dan tak baik aku mengganggu istirahat mereka, akhirnya aku putuskan untuk beristirahat di Masjid Agung Demak yang berada di sekitar alun-alun kota Demak. Sampai sana banyak perubahan yang terjadi rupanya, pagi buta saat itu masjid rame dengan pengunjung, yang iktikaf, atau sekedar istirahat, dan kebetulan pintu masuk masjid dibuka, padahal pintu masjid di hari normal selalu tertutup kecuali waktu shalat fardhu 5 waktu. Sepeda udah diparkir, yang aku cari pertama kali adalah makan, yupp! Aku laper bangettt!! Setelah melewati beberapa penjual akhirnya memilih tempat yang tidak terlalu bagus daripada yang lainnya. Aku pesan mie goreng + lontong sebagai pengganti nasi gag ada. Setelah puas, aku menuju masjid –SKIP--. Ternyata saat itu didalam masjid ada pembagian nasi bungkus untuk sahur, waaahh… seharusnya nih. Tapi karena aku merasa masih kenyang, jadi aku tak ingin mengambil hak orang lain yang lebih berhak daripada aku, dan akhirnya aku tidur di serambi masjid beralaskan sarung, saat akan tidur, pukul 3 pagi kurang lebihnya. Lantunan ayat sudah mengalun kerasnya. Dan aku baru terbangun ketika suara adzan Shubuh. Setelah shubuh aku tidur lagi disana hingga pukul 7 pagi. Dan aku lebih memilih alun-alun sebagai tempatku berdiam dan beberapa kali kesana kemari jalan kaki tak jauh dari masjid Agung Demak hingga adzan Dhuhur membuatku kembali lagi ke Masjid. Kalian tahu museum Masjid Agung Demak? Sekarang bangunannya kerena banget, koleksinya masih sama siih ketika aku pertama kali melihatnya 2010 silam, insya Allah. Tapi penempatan koleksi museum yang bagus banget, kerreen! Kalian tahu tiang soko guru? Tiang besar yang biasanya ada masjid-masjid yang biasanya terbuat dari batang pohon yang besar banget atau dari cor-corran, nah, salah satu tiang didalam Masjid Agung Demak adalah sumbangan dari Sunan Kalijaga, kerrennya, tiang tersebut terbuat dari tatal-tatal kayu yang tak terpakai, kalian tahu tatal? Biasanya hasil pemotongan kayu kecil-kecil tak terpakai, nah, kayu-kayu kecil itu disebut tatal, insya Allaah. Sama Sunan Kalijaga, tatal tersebut disusun hingga menjulang menyerupai sebuah tiang, tanpa alat perekat sama sekali. Keren bukan?? Nah, kalau tidak salah miniaturnya ada tuh di museum Masjid Agung Demak. Silahkan berkunjung J.
Bakda Dhuhur aku langsung menuju ke rumah saudara, disana gag punya rumah. Dulu ada, karena umi wafat, maka tanahnya diwaqafkan untuk dibangun mushalla dan sisanya dijual ke saudara dan nenekku ikut numpang dirumah tersebut. sejarah singkatnya seperti itu.
Setelah beramah tamah dengan saudara-saudara disana, sorenya aku berziarah ke makam almarhumah umi, bersyukur banget tahun ini masih bisa mengunjungi beliau, inspirasi abadi dalam hidupku. Suatu hal yang baru aku dapati, di pemakaman umum diorganisir tahlilannya, jika selama ini organisir tahlilan ada di makam para wali oleh rombongan ziarah, dan rumah-rumah yang mengadakan tahlilan, maka sore itu aku mendapati hal yang baru, di pemakaman umum seorang kyai/ustadz membaca tahlil dengan perangkat suara yang besar dan keras ditengah-tengah peziarah lainnya. Kyai/ustadz tersebut membantu bacaan para peziarah yang memang banyak saat itu, lokasi jalanan sekitar makam pun macet.
Dan malamnya, kalian tahu ada apa? Yaaa, malam takbirannn!! Gilaaa, kembang api meledak-ledak di langit malam itu. Mungkin ratusan kembang api yang meluncur malam itu menyemarakkan pawai takbiran dengan aneka bawaan kreatif, seperti membuat maskot piala dunia raksasa, miniature masjid mempesona dengan kerlap-kerlipnya, dan kebetulan di RTku pemuda disana membuat vespa raksasa dan hewan apa aku lupa semacam kerbau atau sapi gitu. Dan pemuda RT-RT lainnya pun tak mau kalah menampilkan kekreatifan mereka, waah. Di Surabaya dan Ngawi gag ada nih, mungkin adanya takbir keliling dengan mobil terbuka, atau jika pun ada itu mungkin akan dilombakan di kota, tapi ini tidak sejak aku kecil hingga sekarang, di Demak hal tersebut adalah budaya yang tak terikat dengan hal-hal apapun semacam lomba, semangat kerukunan dan bersama-sama menyemarakkan malam takbiran adalah hal-hal yang ditunggu setiap tahun bagi para pemudik yang berasal dari Demak. Pernah pada tahun berapa aku lupa, menyaksikan pawai takbiran di sekitar alun-alun Masjid Agung Demak. Gila rame banget!!. Tidak hanya pawai dengan mobil terbuka atau dengan membawa miniature kreatif mereka, ada pula yang membawa truk tronton dengan bak yang terbukanya yang panjang. Takbir membahana, suara kembang api dan mercon bersatu padu bersepakat meramaikan malam takbiran di kota Demak yang kecil itu.
Dan pengalaman menikmati malam takbiran selama ini, di Surabaya, Demak maupun di Ngawi, aku rasa dari segi urutan ramenya, adalah Demak, Ngawi, Surabaya. Ini subjektif broo! Di Ngawi malam takbiran tidak akan terjadi hal-hal yang menarik, takbiran di masjid seperti biasanya, tanpa ada suara hingar bingar yang lain, setelah itu bakalan sepi banget, penduduk tertidur pulas. Di Surabaya, tak jauh beda, tapi suara kembang api intensitasnya sekitar 20% mungkin, dan setelah itu tidak terjadi apa-apa. Sepi juga, kalau jalanan ya seperti itu-itu… Bisa dibedakan antara pengendara lalu lalang antara pengendara yang bertakbiran. Nah, kalau di Demak, kerennya, di luar rame, di dalam rumah pun juga rame, makanan penyambut tamu-tamu siap dinikmati. Biasanya yang ikut takbiran itu adalah anak-anak kecil, pemuda dan orang dewasa. Sedang yang dirumah biasanya orang tua, bapak ibu, mbah, dan mereka yang lebih memilih menemani keluarganya didalam rumah sambil menunggu tamu-tamu yang mau berkunjung. Takbir keliling tadi dimulai bakda Isya’ kurang lebih pukul 19.30, dan mereka baru kembali sekira pukul 21.00 lebih. Dan bisa kalian saksikan, kondisi jalanan saat itu masih rame. Kalau di Surabaya namanya unjung-unjung, di Ngawi namanya Sejarah, kalau di Demak, badhan. Dan kebetulan saudaraku adalah orang tua, orang sepuh, kalian tahulah, kalau orang tua itu senior dan senior tidak harus berkunjung ke rumah yang muda-muda bahkan sebuah keharusan orang yang belum senior akan mengunjungi mereka yang senior. Seperti itulah bahasanya.
Oh ya, kebetulan aku tak mengikuti takbir keliling, aku cuma mengabadikan proses berangkat mereka yang super rame, tidak cuma memfoto, tapi aku juga merekam proses keramaian itu. Baguss bangett! Dan kebetulan pas aku pulang, aku pertontonkan hasil rekamanku itu ke saudaraku yang menunggu tamu dirumah.
Dan tamu tak berhenti datang meski jam menunjukkan pulu 01.00 pagi. Pintu rumah masih saja terbuka mulai dari rombongan anak seusia SD sampai sekeluarga yang bawa anak-anaknya, banyak dari mereka yang tidak aku kenal. Toh aku juga ikut menyalami mereka, perlu kalian tahu bagaimana gambarannya, tempatnya lesehan dengan TV yang menyala membuat aku tak mau beranjak dari sana, karena disitu jugalah aku akan tidur, bukan karena aku cari aman.
Senin, 28 Juli 2014
Catatan mengenai hari ini tidak banyak, mungkin cenderung sedikit. Sebab hari pertama lebaran tidak ada yang special, karena aku gag punya banyak kenalan disana. Aku lebih banyak dirumah dan rumah saudaraku yang cuma 50 meter dari situ. Tidak seperti yang lain, banyak temui orang yang berlalu lalang dengan kopyah dan perempuan yang memakai kudung/jilbab. Aku cuma bisa ngeliat tanpa respon yang jelas. Yah, seperti itulah hari pertama lebaran yang menurutku biasa-biasa aja tak jauh beda dengan di Ngawi dan Surabaya. Huff…
Selasa, 29 Juli 2014
Sore hari aku mempersiapkan perjalanan mudikku selanjutnya, yaitu Ngawi. Tepat pukul 16.00 aku berpamitan dengan saudara disana tentunya juga nenek yang bakal sangat merindukanku. Yah, akulah keluarganya satu-satunya yang masih bertahan, setelah beliau ditinggal putri tunggalnya dan anak satu-satunya, serta suaminya (kakekku) puluhan tahun silam. Dan sekarang menumpang dirumah anak keponakannya yang juga saudara di tanah yang beliau jual kepadanya. Aku cuma bisa mendo’akan keinginan beliau jika aku kesana aku sudah membawa pasangan halal, aamiin. Aku cuma bisa tersenyum dan menguatkan do’anya. Sebelum keluar dari Demak, aku menyempatkan diri berpamitan juga dengan almarhumah umi di makamnya. Sedikit kalimat permohonan untuk ikut mendo’akanku.
Perjalanan Dimulai
Melewati kabupaten Grobogan – Purwodadi – Sragen – Ngawi, kebetulan jalur tersebut padat merayap, dan kondisi jalan yang kurang bagus untuk digas kencang-kencang sebab itulah perjalananku begitu lama, yang biasanya cuma sampai 2-4 jam, perjalanan panjang kurang lebih 5 jam sejak aku meninggalkan Demak kotanya para wali tersebut. Memilih jalur antimainstream jadi sedikit bingung juga pada awalnya namun akhirnya sampai juga di Ngawi. Memilih jalur menanjak, Sine – Ngrambe – Jogorogo. Kesuksesan perjalanan malam itu rayakan dengan membeli terang bulan khas Bangka di dekat pasar Jogorogo, terang bulan yang cocok untuk kunyahan lembut si mbah, karena beliau tak akan sanggup mengunyah makanan yang keras walau pada akhirnya terang bulan tersebut habis ditanganku. Karena mbah tak doyan makan begituan. Oke tak apa, sendirian juga masih kuat kok. Dan akhirnya istirahat malam dimulai…
Rabu, 30 Juli 2014
Suasana lebaran masih mulai berkurang keramaiannya di dusun tempat tinggal mbahku. Tapi jalanan Kendal – Jogorogo begitu ramenya. Gag tau mereka mau sejarah atau mau ke tempat wisata, seperti Jamus, Seloondo dst… karena menurut survey, tempat-tempat wisata seusai lebaran tingkat kunjungan naik drastis. Tapi kita positive thinking ajalah… Siapa tahu juga mereka juga mau sejarah
Hari pertama di Ngawi, tidak banyak hal yang aku lakukan. Aku lebih banyak berdiam dirumah dan dirumah saudara. Jam menunjukkan 9 malam ketika aku sampe’ rumahe mbah. Dan besoknyalah akan merencanakan kesana-sini.
Kamis, 01 Agustus 2014
Bertemu dengan teman Aliyah, ehm… Dia masih sama saja, masih saja menariknya sejak beberapa tahun yang lalu aku mengenalnya saat aku masih ingusan di bangku Aliyah. Setelah kurang lebih 2 (dua) tahun kita tidak bertemu, tidak banyak yang berubah darinya. Dalam safari lebaran itu kita berkunjung ke rumah teman-teman yang sudah mempunyai anak dan yang sudah punya waktu untuk menikah bulan depan. Dan kebetulan juga kita bertiga, rombongan lebaran mengikuti halal bihalal para guru Aliyah. Pas banget dehh. Jadi tak perlu keliling lebih jauh lagi, semua sudah berkumpul disatu tempat. Tapi senyumannya kurang J.
Dan keseluruhan hari itu cukup mengesankan, aku sampai rumah seperti kemarinnya tapi lebih malam lagi, jam 9an kurang lebih. Banyak sebenarnya yang ingin diceritakan pada hari ini, tapi karena suatu hal akhirnya aku lebih mendiamkan dan tidak menulisnya bareng catatan ini. mungkin tidak dan mungkin bisa juga itu bisa dicatat, tapi sepertinya enggak deh!.
Jum’at, 02 Agustus 2014
Hari Jum’at, jelang Jum’atan aku baru keluar dari rumah, dan menuju masjid yang berada di kota kecamatan Jogorogo setelah itu baru langsung menuju kota Ngawi, mengikuti reuni Forsmawi Surabaya disana yang dijadwal bakda Jum’atan. Setelah sampai yah, say hello dengan senior dan kawan-kawan perjuangan di Surabaya, ramah tamah, baru setelah shalat Ashar kita diskusi panjang hingga menjelang maghrib. Sewaktu pulang entah mengapa aku pengen berhenti sebentar di pertigaan Jogorogo. Beberapa menit kemudian aku mendapatkan telpon, akhirnya aku disuruh menunggu disana karena aku mau ditemui teman MTsku, setelah ketemu, tempat yang cocok saat itulah ada warung lesehan dekat dengan toko Trendz Mode Jogorogo, ketiga temanku berkumpul saat itu juga dan memesan 2 kopi untuk mereka dan teh hangat untukku. Setelah tukar kabar kurang lebih 10 menit, kita menyepakati untuk bersilaturrahim dengan mantan guru kita di MTs yang tinggal tak jauh dari warung tersebut, padahal waktu menunjukkan jelang jam 9 malam. Oke, lanjut, niat kita baik didukung positive thinking beliau belum beristirahat. Dan Alhamdulillah ternyata belum istirahat, kita ngobrol panjang lebar, mengenang masa-masa imut di MTs bersama guru yang katanya teman-teman dulu adalah guru killer, hahaha… setelah dari sana kita sepakat lagi dengan rencana dadakan ke rumah guru bahasa Arab kita, jam menunjukkan 9 lebih. Wah, pulang jam berapa ini, pikirku. Takutnya mengganggu orang rumah jika aku harus membangunkannya larut malam apalagi besok pagi aku harus ke Ngawi. Karena kumpul seperti ini setahun sekali dan susah buat bisa bersama, akhirnya kita jadi silaturrahim kesana, kurang lebih perjalanan seperempat jam kurang. Kami bertemu beliau dan ngobrol banya lebih dari setengah jam, dan kepalaku makin pusing. Dan tepat pukul 11 lebih sedikit aku sampai dirumah dan langsung tidur.
Sabtu, 03 Agustus 2014
Hari ini jadwalnya adalah menghadiri Halal Bihalal Forsmawi Indonesia, setelah mengikuti acara hingga bakda Dhuhur, aku langsung menuju pulang. Setelah mampir dirumahnya mbak, ngobrol panjang lebar hingga jam berapa aku lupa, aku langsung kerumah mbak yang satunya. Mandi dan bersiap-siap kerumah teman adalah tujuanku sore itu. Setelah beres, akhirnya aku bertemu dengannya gag ada 10 menit kayaknya karena aku hanya menemuinya diluar rumah J. Setelah itu aku langsung pulang dan sampai rumah mbah kurang lebih jam 7 malam, dan mbah pun heran dengan ketidakbiasaanku pulang sesore itu. Angin malam yang berhembus kencang ditambah kondisi pertahanan tubuh yang memburuk memaksaku segera beristirahat malam itu. Jam 8 aku tidur lebih awal dari biasanya. Kepala pusing, batuk, pilek dan entah apa yang terjadi lagi dalam imun tubuhku yang melemah aku tak tahu, yang aku tahu aku terlalu kepayahan hari itu dan harus segera mengistirahatkannya secepat mungkin.
Minggu, 04 Agustus 2014
Bangun tengah malam mendapati kondisi yang lemah tak berdaya akhirnya aku mengambil air hangat untuk aku minum. Mungkin juga bisa karena aku kekurangan air mineral. Pasokanku sangat kurang, atau juga jadwal makanku yang tak teratur ditambah sering mengadakan perjalanan jauh/dekat. Pagi hari sekitar jam 8 dengan kondisi yang masih lemah, aku paksakan untuk mengendarai motor, ingin berkunjung ke sebuah rumah teman yang jauh. Karena aku sudah berjanji, ketika aku pulang ke Ngawi, aku usahakan mampir barang sejenak aja kerumahnya, hanya ingin tahu bagaimana kabarnya selama ini. setelah bernego dengan temanku yang lain, akhirnya dia mau juga menemani aku mengunjungi temanku itu. Dan rencana berhasil tapi apa yang aku harapkan tidak bisa terwujud. Yahh, yang penting sudah berusaha.
Tepat pukul 13.00 aku meninggalkan Ngawi menuju kota Bojonegoro. Bojonegoro adalah persinggahan berikutnya dalam safari lebaranku kali ini sebelum meneruskan perjalanan terakhir ke Surabaya. perjalanan panjang kurang lebih 5 jam, mulai masuk daerah Bojonegoro hingga sampai ditempat tujuan.
Senin, 05 Agustus 2014
Pada hari ini berakhir sudah perjalanan panjang lintas provinsi Jawa Timur – Jawa Tengah, sampai rumah langsung teler dengan kondisi badan yang ngedrop banget! Tapi, sekali lagi, bersyukur itu perlu diperbanyak dalam kondisi seperti itu. Sebab itu kita akan lebih banya meminta dengan tulus kesembuhan kepada Yang Maha Kuasa. Yah, aku juga melakukan hal yang sama, karena sorenya aku harus memulai aktifitasku seperti biasanya, bekerja.
Selama perjalanan lebaran kali ini ada beberapa hal special yang tak bisa aku lupakan hingga hari ini. Banyak hal tentunya, namun ada sebuah momen menarik yang tidak bisa aku lupakan dan mempunyai tempat khusus. Dan tentu aku tak bisa mempublishnya dicatatan ini. karena hal ini menurutku sangat privasi tingkat akut. Sangat banget. Belum waktunya dan entah ada waktunya apa enggak.
Dari perjalanan mulai keberangkatan di Surabaya hingga sampe’ di Surabaya lagi dengan proses yang begitu panjang dan banyak kendala disana-sini, aku merasa beruntung, karena tidak semua orang bisa melakukan hal yang sama sepertiku. Sebagai manusia merdeka, tentu tak banyak tuntutan untuk melakukan perjalanan tersebut. aku hanya memohon ridha Tuhan Yang Maha Kuasa untuk mengabulkan harapanku. Apakah itu? Yah, suatu saat jika Tuhan Mewujudkannya kalian pun akan tahu dengan sendirinya.
Terima kasih atas perhatiannya, mohon ma’af bila ada salah-salah kata, tulis di catatan ini. Tulisan ini blak-blakkan, tidak menggunakan diksi yang bagus, jadi seperti orang ngomong mengalir begitu aja.
Terima kasih juga sudah membaca hingga baris terakhir dan sampai jumpa di catatan selanjutnya. Insya Allah

06 Agustus 2014
Surabaya
Ahmad MQ
 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ini Ceritaku Hari Ini. Update

Ponorogo Punya Cerita (19 Desember 2014)

Cinta Dalam Diam ; Romantisme Cinta Ala Ali Bin Abi Thalib dan Fatimah