Perempuan Berjilbab Biru - Sebuah Cerpen

dari gugel imej
Ini cerpen berusia 2 tahun, tepat dua tahun. Aku lupa terinspirasi dari siapa, sosok perempuan berjilbab biru nyata ataukah cuma pengembangan dari ide yang sempat terlintas sebentar. 
Yang aku ingat saat menulis cerita ini aku begitu antusias bermain-main dengan ide yang terbuncah melalui tulisan yang mengalir begitu saja. Aaa... Sekarang tak sama dengan dulu. Beda jauh...
Yuk, simak perlahan-lahan...
Deretan kata-kata berbaris rapi itu tak henti-hentinya aku baca, aku masih belum percaya isi dari kertas bermotif coklat tua, tulisan Undangan Pernikahan tertera dimukanya. Aku tak akan se shock ini jika mengetahui temanku atau siapapun yang akan menikah. Tapi kali ini, aku memang pantas shock dengan apa yang terjadi saat ini. Hal ini membuatku lemah, semangat yang sejak Shubuh aku tanam harus sirna ketika aku melihat sebuah undangan tergeletak di atas meja tamu.
“Datang aja Fik… itu berarti dia ingin menjalin silaturrahim denganmu dengan cara yang lebih dewasa” Saran Mahmud, lelaki paruh baya berkacamata ini selalu menjadi tempat aku menceritakan sejarah dan perkembangan asmaraku. Meski usia kita terpaut 10 tahun lamanya aku tak canggung curhat ke dia.
“Dia pernah berpesan kepadaku, apapun yang terjadi antara hubungan kalian berdua, dia tak ingin hubungan pertemanan, persahabatan yang telah kalian jalin selama ini tak hancur, masak gitu aja kamu down!”
“Entahlah bang, aku masih saja belum bisa mengikhlaskan dia sepenuhnya untuk menjalin hubungan dengan orang lain,”
“Kamu kok cemen banget sih Fik! Lisa, Salma, dan Faiza kamu kemanakan? Bukankah kamu sering jalan dengan mereka?”
“Astaghfirullaaah… enggak bang! Aku gag pernah melihat mereka dari sudut pandang berbeda selain teman kantor, teman kerja! Kami wajar bang, kami gag pernah jalan berdua, selalu saja lebih dari 3 orang kalau kemana-mana, dan tidak semuanya perempuan, ada bang Indra, sopir kantor, bang Rahmat…”
“Hehehe . . . ya sudahlah, jangan pake otot. Aku juga tahu kok, tadi aku cuma ngetes kamu doang. Tapi, Qi, nama terakhir yang aku sebut tadi sepertinya dia menaruh perhatian lho padamu” ujar bang Mahmud dengan sorot mata yang menggoda. Aku cuek saja mendengarnya. Itu bukan gossip yang fresh dan akan membuatku kaget, beberapa minggu ini aku memang merasa Faiza memang sering mencuri-curi pandang padaku. Tapi, entahlah, aku pun tak pernah mengetahuinya pasti, itu hanya prasangkaku saja yang kemudian dikuatkan oleh teman-teman di kantor ini yang cerita kepadaku bahwa Faiza sering tanya-tanya ke mereka tentang aku.
Yang tak habis aku pikir, kenapa Faiza harus repot-repot mencari data dari orang lain? Kenapa tidak tanya langsung ke aku saja, toh itu juga kalau dia berani. Kalaupun dia emang benar-benar suka padaku, kenapa dia tak langsung mengungkapkannya padaku? Kenapa saat dia menjelaskan program kerja kantor setiap bulan dia begitu semangat tanpa rasa malu sedikitpun seperti saat ini apa yang santer terdengar di kantor ini? Ahh, perempuan, harus dari perspektif mana aku melihatnya agar nampak kejujurannya!.
Dan bodohnya aku hari ini, tanpa aku sadari undangan itu tiba-tiba muncul di saku jaketku! Yang membuatku tak habis pikir, kenapa bisa ada di saku jaketku. Mungkin aku akan menjadi gila gara-gara undangan ini. Aku hampil handphoneku, aku cari-cari lagu dengan beat kenceng dan melonjak-lonjak lalu aku sumpal kupingku dengan earphone. Aku alihkan perhatianku dengan aktifitas di kantor ini. Ucapan bang Mahmud sudah tak berbekas. Faiza sudah lenyap. Dan bayang-bayang pernikahannya yang beberapa minggu lagi akan dilaksanakan juga tersisih secara perlahan. Semoga selamanya.
Dua Minggu berikutnya…
            Handphoneku menjerit …
            “Assalamu’alaikum bang Fiki” terdengar suara perempuan yang tidak asing lagi, tapi entah siapa.
            “Wa’alaikumussalam, iyya, ma’af dengan siapa? Kok nomornya baru?”
            “Ya Allaah bang Fiki jahat! Aku Faiza, bang! Ini bukan nomor baru, ini Faiz dah pake bertahun-tahun, semua orang kantor juga tahu nomor Faiz ini, bang! Bang Fiki jahat, gag nyimpen nomorku” rengek Faiz dengan nada manja
            “Maa’aaaaaf, Faizzz… dari dulu, kontak hapeku lebih banyak akhwatnya daripada ikhwatnya. Ma’aaf bangett… sekarang ada perlu apa telpon, tumben banget”
            “Dan parahnya lagi, bang Fiki gag hapal dengan suaraku, padahal kita sekantor udah 12 bulan lebih… ihhhhh... bang Fiki nyebelin banget sih!!”
            “Iya… iya… aku salah deh… Ma’af, ma’af bangett! Sudah ya, sekarang ada perlu apa kamu telpon sepagi ini…”
            “Hemmm, begini bang… Bang Fiki dateng khan ke pernikahannya…”
            Jleebbb…
Aku hampir saja lupa hari ini adalah pernikahannya. Akhirnya hari ini tiba juga. Padahal aku bertekad untuk melupakannya jika saja Faiza tak mengingatkanku barusan… Ya Tuhan, aku harus bagaimana… ini pasti orang kantor akan rame-rame mengajakku menghadiri pernikahannya. Ya, karena dia menikah karenaku juga, dan dia menerima kenyataan ini dengan berat hati karenaku juga. Apakah harus hadir atau berdiam dirumah atau bahkan aku harus meninggalkan kota ini! Aku tak tahu apa yang harus kulakukan! Ya Tuhan!!
            “… halllooooo… bang Fikiiii… bang Fikiiiii!!” suara diseberang sana mengagetkan lamunanku…
            “Eh iya, Faiza… ma’af aku teringat sesuatu tadi sehingga aku…” belum aku tuntas melanjutkan Faiza langsung mengambil alih pembicaraan.
            “Udah gini aja, bang. Langsung to the point, nanti jam 8 lebih dikit, insya Allaah bang Indra dan teman-teman akan jemput bang Fiki, dan bang Fiki harus siap berangkat”
            “kemana…?”
            “ke Hotel Sempurna, tempat resepsi kak…” langsung aku potong pembicaraannya.
            “Insya Allaah, tapi kalau nanti rumahku dalam keadaan terkunci berarti aku tidak ikut, kalau aku menunggu didepan rumah itu tandanya aku ikut bersama kalian , cukup jelas. Sudah ya, aku mau siap-siap… Wassalamu’alaikum”
            Aku tekan tombol end, tanpa memberikan kesempatan Faiza untuk memberi tanggapannya sedikitpun. Handphone aku offline mode. Bergegas aku ke kamar mandi. Aku tekadkan aku harus pergi kali ini, ya pergi…
-----
            Angin sepoi-sepoi, matahari masih bersinar cerah, langit-langit cerah, berwarna biru, tanpa noda sedikitpun. Kapal-kapal nelayan bersandar dengan sebuah tali yang mengikatnya agar tak lepas dibawa gelombang laut yang begitu tenang. Anak-anak kecil berlarian bermain petak umpet dengan gelombang laut yang mencium bibir pantai. Sementara suara gelombang laut dan angin yang menghantam cukup mengingatkanku dengan kenangan yang seolah-olah baru saja aku alami.
            Disinilah, kami mengadakan sebuah pertemuan, aku masih sangat saat itu. Jilbabnya sampai dipermainkan angin ketika dia mencoba untuk berlarian dikejar ombak. Dengan kaca mata yang menempel di atas hidungnya. Dia tersenyum waktu pertama kali melihatku yang telah menunggunya beberapa jam. Sementara dia asyik bermain pasir dengan anak-anak, berlarian kesana kemari, satu hal yang pasti, dia begitu bahagia seolah dia belum pernah merasakan kebahagiaan seperti hari itu. Kami duduk diatas hamparan pasir dengan pemandangan yang luar biasa dihadapan kami. Pantai Asmara, begitulah kami selanjutnya menyebutnya. Pantai yang sarat dengan cinta kami…
            “iki pantai deso Babadan jenenge, mas. Ne’ jeneng pantaine yo ora ngerti, tapi, wong kene nyebute yo pantai deso Babadan, soale kene iki deso Babadan” begitulah jawaban dari mbah Lasso, penjual es Siwalan yang tak jauh dari lokasi pantai.
            Pantai Asmara, disinilah kenanganku banyak tertinggal bersamanya. Lokasinya yang cukup tersembunyi dibanding pantai-pantai yang sudah dikenal orang, karena memang pantai ini bukan pantai untuk wisata pada umumnya. Pantai ini menjadi tempat kapal-kapal para nelayan bersandar untuk kemudian berlayar menembus kegelapan malam demi mencari sesuap nasi dengan menangkap ikan dilaut.
            Air mataku menetes, aku teringat. Terakhir kali aku kesini, 3 bulan yang lalu. Dia masih duduk disampingku, kami berbicara banyak hal. Orang tua, saudara, teman-teman bahkan masa depan kami. Kami masih suka menatap pemandangan laut lepas. Anak-anak yang berlarian, mencari kerang, atau bermain pasir. Setiap minggu, kami selalu kesini. Sehingga orang sini tak asing dengan kehadiran kami yang selalu saja menghabiskan waktu dengan duduk-duduk di pantai kadang jalan kaki dari ujung ke ujung sambil mengitung berapa total langkah yang dibutuhkan untuk sampai ke ujung berikutnya. Bahkan kami pernah merayakan ulang tahun dengan anak-anak kecil disana dengan membagikan buku tulis.
            Dan sekarang, aku mendapati diriku sebagai seorang yang kalah dalam kisah asmara ini. aku masih tak percaya dia telah pergi jauh dariku. Aku masih tak percaya dengan semua ini. setiap malam aku berharap ketika aku buka mata nanti, dia yang akan menyapaku duluan waktu adzan Shubuh. Atau seperti saat ini, seperti biasa aku menunggunya datang seperti dulu saat aku menunggunya. Tapi sepertinya itu tak mungkin…
            “mas Fiki, sepurane ganggu, iki lho, sampean dapat surat dari mbak cantik” aku terkejut dengan suara mbah Baim. Istri dari mbah Laso. Kedua pasang suami istri yang usia pernikahannya lebih dari setengah abad itu sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri. Tapi sayangnya, dalam usia pernikahan mereka yang langgeng itu, mereka tidak dikaruniai seorang anakpun. Namun itu bukan menjadi alasan mbah Laso untuk tidak mencintai mbah Baim. Mereka telah sepakat untuk setia sampai mati dihadapan Tuhan. Apapun hal buruk terjadi dalam mahligai rumah tangga mereka. Kami tertegun dengan kesetiaan cinta mereka. Kami berharap serupa.
            “Sampean kok lama ndak pernah kesini tho? Padahal mbak cantik hampir setiap hari dia nunggu sampean disini lho” aku lebih terkejut lagi dengan apa yang dikatakan dengan mbah Baim”
            “Lhohh! Yang bener mbah?? Bagaimana mbah bisa tahu dia hampir setiap hari dia kesini?”
            “Lho ya tau tho si mbah, khan mbah setiap hari masih jualan disini nemeni mbahmu. Mbah tahu mbak cantik sering kesini sendiri, kadang dia duduk ditempat ini, ya persis disini, tak pernah geser tempat sedikitpun…” ujar mbah Baim sambil menunjuk tempat yang aku duduki. Ya, tempat yang aku duduki ini adalah seperti sebuah prasasti cinta kami yang harus kami jaga dan akan kami kenang sepanjang masa!.
            Pohon Aren yang berdiri kokoh di belakang ‘prasasti’ cinta kami menjadi saksi pembicaraan kisah kasih selama ini. pohon ini juga menjadi saksi bahwa kami pernah menitikkan air mata kami bersama, mendengar canda tawa dan keluhan dalam hidup kami. Begitu cepat semua ini berlalu.
            “Setiap datang kesini, kalau kebetulan dia menghampiri mbah, dia selalu tanya, apakah sampean datang kesini. Lalu mbah cuma bisa menggeleng, lalu dia pergi setelah mengucapkan terima kasih. Mbah ngelihatnya kasihan sekali, ndak tega”
            Aku merasakan jantungku seperti berdetak dengan kencang mendengar penuturan mbah Baim. Aku menyesalkan diriku. Aku membodoh-bodohkan diriku kenapa cintaku tak setangguh cintanya? Kenapa harus hari ini aku tahu seperti ini… kenapa disaat semua akan benar-benar berakhir aku menyadarinya… Air mataku menetes. Mbah Baim meninggalkanku dengan segala kekacauanku hari ini.
            “Apapun yang terjadi, ingatlah prasasti cinta kita ini, disinilah kita bertemu dan disini pulalah kita berpisah”
            “Iyya, aku akan mengingatnya sampai kapanpun… Aku merasa Tuhan telah menempatkan keindahannya disini. demikian pula cinta kita. Aku ingin kita akan mengingatnya dan mengenangnya sampai kapanpun. Karena disinilah cinta kita telah bersemi dengan indah”
            “Janji?”
            “Iyya janji, atas nama cinta kita, Fiki dan Insi…”
            Ucapan itu nyaring terdengar olehku…
---
Aku tahu kamu pasti kesini di hari pernikahanku…
Aku lebih bahagia jika kamu masih mengingat ‘prasasti’ cinta kita dan mau mendatanginya seperti aku menunggumu disini setiap hari menjelang hari pernikahanku… dan berbicara banyak hal kepada ombak, pasir dan pohon aren yang senantiasa melindungi prasasti cinta kita.
Jujur aku tak sanggup menatap kedua matamu seandainya kamu melihatku bersanding di mahligai pernikahanku hari ini. Kedua mata yang dulu aku tatap penuh dengan cinta harus memendam kesedihan karena pujaan hatinya telah dimiliki orang lain. Ma’afkan aku...
Meski fisik dan hati ini sudah tak menjadi milikmu, yakinlah… prasasti itu akan menjadi bagian dalam hidupku. Karena disanalah aku bisa mengenal kebahagiaan, disanalah aku bisa bangkit dari keterpurukan, membuat aku mempunyai cahaya hidup hingga aku bisa berdiri disini dengan penuh senyum palsu. Dan itu semua bertambah berarti ketika kita menjalin cinta…
Mungkin kita berpikiran sama, mengapa ini semua bisa terjadi. Mengapa Tuhan tak memberi kesempatan kepada cinta kita untuk bersatu? Aku tak akan pernah mendapatkan jawabannya. Tuhan menyimpannya untuk itu, mungkin kita berpikiran sama, Tuhan telah bertindak tak adil kepada kita.
Setiap hari, aku mengiba-iba kepada Tuhan untuk menyatukan cinta kita. Aku tak tahu harus berbuat apa selain itu. Permintaanku mungkin bagi Tuhan terlalu besar dan berat untuk dikabulkan sehingga Tuhan membiarkan semua ini terjadi.
Selamat tinggal sayang… Kisah kasih kita harus berhenti di titik ini. Pernikahan adalah akhir dari segalanya, akhir dari kisah cinta kita. relakanlah kepergianku seperti halnya aku merelakanmu memilih pendamping hidup pilihanmu. Hiduplah dengan masa depanmu, bukan masa lalumu, akupun demikian meski berat dan tak yakin aku akan setegar kamu.
Dan aku yakin Tuhan punya alasan kenapa Dia mempertemukan kita dan akhirnya menumbuhkan benih cinta pada diri kita… Pasti itu bukan hal yang sia-sia bukan?
Dalam surat ini aku sertakan butiran pasir yang aku pilih dengan cinta yang tulus kepadamu, ini adalah pasir yang sama aku bawa dari sini waktu kita mengikrarkan cinta bersama. Dan pasir ini sebagai tanda aku tak akan pernah melupakan asal mula cinta kita bermula. Dan sekarang pasir ini aku serahkan ke kamu. Simpanlah ia seperti halnya kamu mengingatku, mengingat kebersamaan kita … Sampai mati

Dari yang selalu mencintaimu…

Aku lemas, tubuhku lemah, pandanganku kabur…
----
5 tahun kemudian…
            Kicauan burung-burung yang bertengger didepan pohon jambu depan kontrakanku cukup membuat teduh suasana pagi ini. Suara sepeda onthel yang khas berseliweran berlalu lalang, penjual soto keliling, nasi pecel, bubur ayam dengan gerobaknya yang didorong, memperkaya menu sarapan pagi ini. Mau ngemil? Penjual cilok, cilok goreng, cilok bakar, siomay,  ada juga. Ingin sayuran ada juga, bingung mau masak pauk apa? Ada, salah satunya kang Maman, penjual tahu keliling dengan suara nyaringnya menjajakan dagangannya. Menambah riuh suasana pagi ini.
            “Fiki, beli tahu berapa hari ini?” tanya kang Maman yang melihatku berada berdiri didepan pintu.
            “Nanti sore aja, kang. Nanti Fiki ke tempat kang Maman, kebetulan hari ini Fiki mau menghadiri acara Halal Bihalal di luar kota. Disisain buat Fiki ya, kang?”
            “Oke deh, nanti suruh si Rozi untuk ambilin seperti biasanya, oke, Fik?”
            “Oke, kang!”
            “Ohya, kamu kapan pulang kampung? Kamu gag mudik? Masak 4 kali lebaran kamu disini terus? Kasihan saudara-saudaramu di kampung, pasti mereka nyariin kamu, lho. Adakalanya cari materi itu harus diistirahati. Dan aku lihat akhir-akhir ini kamu murung terus kenapa, Fik? Sebagai tetangga terdekatmu, kang Maman merasa kamu membutuhkan seseorang untuk bercerita…”
            “emmm… gimana ya kang, kang Maman bisa menafsirkan mimpi tidak?”
            “Kang Maman gag bisa kalo menafsirkan mimpi, kalau buat tahu yang enak kang Maman jagonya, hehehe…”
            “Serius ini, kang…”
            “Iyya, kang Maman tahu, tapi kang Maman tahu siapa yang bisa menafsirkan mimpi itu di desa kita”
            “Siapa kang?”
            “Abah Rahmat”
            “mbah kyai Rahmat? Kyai pengasuh pondok Raudhatul Jannah?”
            “iyya bener, siapa lagi kalau bukan beliau, Fik…?
            Kalau boleh tahu, kamu mimpi apa, Fik? Kok sampai kamu dibuat gelisah?”
            “…emmm… Entahlah kang, aku menyebutnya mimpi seperti apa, yang pasti dalam beberapa minggu ini, aku sering bermimpi sesosok perempuan, dia berjilbab. Jilbabnya berwarna biru. Dia selalu membangunkanku dari tidur, saat aku sadar dari tidurku aku tahu bahwa aku sedang bermimpi, dan itu selalu tepat di pukul 2 pagi. Begitu setiap hari, kang… dan tadi malam adalah ketujuh kalinya aku bermimpi demikian”
            “Mungkin dia membangunkanmu untuk shalat, Fik. Apakah kamu mengenali wajahnya?”
            “Entahlah kang, bisa juga demikian. Soal wajahnya, tidak tahu kang, aku tahu dia perempuan itu dari jilbabnya yang berwarna biru. Ketika dia membalikkan badannya meninggalkanku. Dan wajahnya aku tidak berhasil memastikannya siapa karena aku selalu terjaga”
            “Sebentar, berjilbab biru, neng Felisha juga setiap hari memakai jilbab berwarna biru, Fik. Orang desa sudah tahu semua tentang hal tersebut, kalau neng Felisha tidak pernah sekalipun memakai jilbab berwarna selain biru. Dan dengar-dengar neng Felisha juga meminta eyangnya, mbah kyai Rahmat untuk mencarikan jodoh untuknya…
            Jangan-jangan… itu pertanda buatmu, Fik… Subhanallaaah…”
            “Pertanda apa kang? Ah, kang Maman bisa saja… Sudah kang. Fiki mau mandi dulu, mau siap-siap mudik saja kalau begitu… mungkin mimpi itu pertanda Fiki dikangeni sama mbah Uti (sebutan untuk nenek di desa penulis)... jadi sama si mbah, Fiki disuruh pulang kampung secepatnya“
            “Akhirnya, yasudah Fik, ati-ati ya nanti kalau berangkat… Jangan lupa oleh-olehnya, ya… hehehe… kang Maman mau lanjut jualan dulu… wassalamu’alaikum…”
            “insya Allaah, beres kang. Wa’alaikumussalam warahmatullaahi wabarakatuh…”

Bersambung….
-----
            Sebenarnya aku tak ingin berada di dalam bus ini yang membawaku pergi menjauh dari tempat pengasinganku selama ini, kalau bukan karena nama mbah Uti yang sempat tersebut oleh lidah kang Maman dan mimpi perempuan berjilbab biru yang mungkin bisa saja itu sosok mbah Uti yang merindukanku pada lebaran kali ini. Dan, hingga kini aku juga tak tahu bagaimana kabar mbah Uti sejak 5 tahun lalu. Apakah beliau masih hidup atau… ah, semoga beliau nanti akan menyambutku dengan bahagia…
            Sengaja aku meninggalkan semuanya dan memilih kota yang sangat asing bagiku, kota yang belum pernah aku singgahi sebelumnya. Karena aku sudah tak percaya, tempatku yang sebelumnya akan membuat aku bisa menikmati hidup dengan tenang. Meninggalnya ibu 5 tahun yang lalu telah membuatku tak lagi percaya Tuhan masih akan bisa mengembalikan senyumku jika aku masih berdiri disana. Aku meninggalkan semuanya. Karierku, teman-temanku… bang Mahmud? Bang Indra? Bang Rusdit? Dan Faiza… bagaimana kabar mereka sekarang? Sudah 5 tahun kita tak bertukar kabar… Faiza? Apakah perempuan itu masih memendam perasaannya padaku sampai sekarang? Ah, menurutku tidak, bagiku suatu hal yang bodoh seorang perempuan menanti pujaan hatinya yang tak jelas rimbanya…
             “… om beli kacangnya, murah kok om… cuma 1.500 perak.”
            Suara anak kecil yang sedang menjajakan dagangannya mengalihkan pandanganku dari jendela kaca bus yang sedang ngetem di terminal. Dengan topi mungilnya, dan wajahnya berpeluh keringat dia membawa kotak yang berisi dagangannya yang berupa, rokok, kacang, permen, tisu, dan beberapa suplemen minuman. Tak seimbang dengan tubuh mungilnya.
            “Oh, boleh… beli 10.000 ya… kembaliannya diambil saja, buat makan nanti” aku keluarkan pecahan 50.000. tanpa banyak kata anak kecil langsung menyambar uang yang aku berikan setelah kacangnya dia berikan padaku, dia tersenyum puas, dan langsung beringsut meninggalkan deretan bangkuku dan lanjut menyebut apa yang dia jual kepada penumpang lainnya.
---
            Pukul 3 sore saat aku menginjakkan kakiku pertama kali semenjak 5 tahun berlalu di kota ini. aku hirup udara dengan perasaan lega, aku seperti menemukan semangat baru. Setelah turun dari bus, aku langsung menuju angkot yang menuju ke rumah yang aku tempati dulu. Aku bergegas, tak sabar ingin melihatnya bagaimana kondisinya sekian lama ini.
            “ya Allaah nak Fiki… kemana saja selama ini kok menghilang tanpa kabar?” sambut bu Restu saat aku bertamu ke rumahnya hendak mengambil kunci rumah yang aku titipkan ke beliau.
            “aku kira waktu nitip kunci, nak Fiki cuma pergi keluar kota beberapa hari, tapi nyatanya malah bertahun-tahun… kemana saja nak Fiki selama ini?” aku bingung harus menjawab bagaimana, rasa rinduku kepada rumahku membuatku tak ingin menjelaskan apa yang terjadi pada bu Restu. Aku ingin cepat-cepat melihat kondisi rumah sebelum aku memutuskan mengunjungi rumah mbah Uti. Aku lihat-lihat kondisi rumahku, rumah mungil yang aku beli dengan jerih payahku, yang kelak aku rajut mahligai rumah tangga dengan perempuan yang ditakdirkan oleh Tuhan untukku.
            Rumah ini tak terawat, debu dimana-mana, sarang laba-laba dan… aku mendapati surat undangan yang diselimuti debu tergeletak di meja kamarku. aku singkirkan debu yang menutupinya. Aku buka perlahan-lahan. Isinya tetap tak berubah. Undangan pernikahan Insi dengan mempelainya 24 April 2013 silam. Aku menghela napas panjang. Aku kembali kesini bukan untuk mengingat masa lalu, aku telah mengikhlaskan masa lalu seperti dia mengikhlaskan aku memilih pasangan hidupku sendiri.
            “janganlah tidurmu membuat engkau lalai dari bersujud pada TuhanMu.. Bangunlah”
            Suara perempuan itu tiba-tiba membangunkanku dari mimpi, sebelum sempat aku bisa bangkit dia justru telah menghilang. Ini kali kedelapan perempuan berjilbab biru itu mendatangiku. Siapa dia? Apa sih maunya? Kenapa dia selalu cepat menghilang sebelum aku tahu siapa dia? Kenapa aku selalu bermimpi yang sama beberapa hari ini?. Aku melihat jam dinding kamar. pukul 02.05 WIB. Masih di jam yang sama.
----
            “Assalamu’alaikum… “ ucapku saat berada didepan pintu rumah mbah Uti yang terletak di desa.
            “Wa’alaikumussalam… silahkan masuk” jawaban salam yang terdengar bukan suara mbah Uti. Aku tidak mengenalnya. Jangan-jangan, mbah Uti… aku segera masuk, ke ruang keluarga, ruang tamu kosong tapi banyak sepatu dan sandal di depan rumah.
            “Subhanallaaaah… Fikiiiii” teriak budhe Umi, mbaknya almarhumah Ibu.
            “mbaahh, Fiki datang mbaah…” teriaknya lagi seraya memelukku. Dan melepas kacamatnya yang terlihat basah karena air matanya.
            “Fikiii?” suara lain bersahutan, ternyata ada mereka di rumah ini, bang Mahmud, bang Indra, bang Rusdit, saat aku merangsek kedalam ke ruang keluarga, Lisa, Salma, dan Faiza. Ada disana. Kenapa kebetulan banget bisa berkumpul seperti ini?
            “firasat seorang nenek yang sudah merindukan kehadiran cucunya yang begitu kuat, terbukti hari ini kamu sudah pulang. Beliau mengatakan kepada kita kalau cucunya akan pulang hari ini, makanya dia mengabarkan hal itu kepada teman-teman kantor bahkan nanti teman-teman di sekolahmu akan kesini.”
            “Bagaimana kabar bang Fiki? Lama kita tak jumpa, bang…” sapa Faiza yang tak beranjak dari duduknya. Hanya saja aku melihat kebahagiaan di kedua matanya saat dia melihat kehadiranku.
            Akhirnya kami berbicara banyak, suasana kantor setelah kepergianku diam-diam. Tanpa sepengetahuan mereka aku mengajukan surat pemberhentianku ke direktur. Tanpa seorang pun tahu. Dan meninggalkan rumah saat mereka datang untuk menjemputku untuk menghadiri resepsi pernikahan Insi dan berlanjut menonaktifkan nomor handphoneku selamanya dengan mengganti dengan nomor baru tanpa sebelumnya memberi tahu mereka. Aku ceritakan bagaimana aku pertama kali menjatuhkan pilihan ke kota yang begitu jauh dari kota asalku. Bagaimana aku bisa bertahan ketika aku kehabisa bekal saat terdampar disebuah Masjid desa. Dan akhirnya aku bisa mendapatkan pekerjaan membantu para petani menjualkan dagangannya. Semuanya aku ceritakan. Bagaimana aku mulai dari awal dan akhirnya sampai disini. Bagaimana baiknya kang Maman yang memberikan tumpangan tempat tinggal saat dia tahu aku tak punya tempat tinggal. Tentang mbah kyai Rahmat, yang menyarankanku untuk membantu petani menjual dagangannya agar tak selalu tergantung dengan penjual asal kota. Dan tentang mimpiku, perempuan berjilbab biru yang selalu menemuiku didalam mimpi-mimpiku.”
            Dan saat aku bingung tentang tafsir mimpi ternyata jawabannya ada disini, seorang nenek rindu berat cucunya untuk kembali lagi… mungkin inilah tafsir mimpi tersebut. perempuan itu adalah wujud rindu mbah Uti yang selalu mengingatkanku untuk selalu ingat kepada Tuhannya. Dan terbukti firasat orang tua tak akan pernah salah dan meleset.”
            “Tapi, Fik. Kalau boleh ikut menafsirkan mimpimu… sosok mimpimu itu ada disebelahku lho…” ujar bang Mahmud menggoda orang yang dimaksud sebelahnya langsung tersipu malu sambil mencubit pundak bang Mahmud. Faiza merona kedua pipinya. Dan aku baru sadar, ternyata Faiza memakai jilbab berwarna biru muda. Ya Allaah… artinya apa ini semua…? Kenapa bisa kebetulan seperti ini?
            “Bang Fiki pindah kerja gag bilang-bilang sih… Ngilang gag kasih kabar lagi, nomor hape udah gag aktif, udah bertahun-tahun abang ngilang. Egois banget jadi cowok!” rengek Faiz.
            “kamu sih Fik, kamu tega ninggalin orang-orang yang berpotensi membuatmu bahagia dunia akhirat…” goda bang Mahmud sambil melirik Faiza. Yang lain pun ger dengan godaan itu. Suasana ruang keluarga itu riuh dengan tawa kebahagiaan mereka.
            Kalian semuanya tidak berubah wajahnya ya, kecuali bang Mahmud perutnya udah berisi, udah hamil berapa bulan, bang? Hahaha….”
“baru 9 bulan, Fik… Hahaha…”
Aku senang bisa berkumpul seperti ini, rindu rasanya dengan suasana di kantor. Aku berterima kasih sudah peduli dengan keadaanku, ma’af sudah membuat kalian bingung. Beberapa hari sebelum aku memutuskan berhenti kerja. Aku berpikir inilah yang terbaik bagi hidupku. Aku melewati masa-masa sulit bersama kalian, dan aku tak ingin dengan apa yang aku alami akan menyusahkan kalian. Dan itu berarti pekerjaan kita bisa terhambat.  dan itu tentu bisa membuat kantor kita tidak ‘sehat’ seperti biasanya. Dan yang lebih penting, aku ingin melupakan masa laluku… “ aku menitikkan air mata yang segera aku usap dengan tanganku.
Bang Indra menepuk bahuku, menguatkanku,
“Sudahlah Fik, aku tahu masalahmu saat itu sangat berat, setelah kepergian ibumu, dia menyusul meninggalkanmu… Sekarang cukup dengan masa lalumu, mari kita bersama-sama membangun kehidupan yang lebih baik. Kami disini sebagai bukti kami sangat menyayangimu, kami peduli dengan keadaanmu. Kita dikantor bukan hanya partner kerja. Tapi sebuah keluarga baru yang harmonis. Dimana kita bisa menciptakan suasana penuh cinta dan semangat. Jika ada salah satu anggota keluarga kita yang sakit, kitapun merasakan sakit yang sama.”
“Suatu saat dalam hidupmu, Fik. Cobalah menyadari hal ini, terkadang, ada kalanya dalam hidup, kamu mungkin kecewa saat mengalami seusatu hal yang kamu inginkan, ingin miliki. Namun seiring berjalannya waktu, percayalah, banyak hal yang akan datang, yang justru akan mengganti semua kekecewaan dan harapanmu selama ini menjadi lebih baik. Pada akhirnya ketika kamu akan mencoba menengok dan menyadari semuanya, kamu akan tahu sesuatu yang lebih baik telah menunggumu.
Berdamailah dengan masa lalu… Masa lalu itu tidak bisa kamu hindari, menghindari masa lalu tidak akan menyelesaikan masalah, malah menunda penyelesaian masalah. Semakin lama kamu membiarkannya semakin erat pulalah masalah itu selalu membayangimu. Yang sebenarnya ingin kamu lupakan”
 “terima kasih, bang. Teman-teman. Atas segala perhatian yang kalian beri, jika kalian memang sepakat dengan pernikahan untukku, aku akan menerimanya. ” ucapku lirih kepada mereka semua. Kedua mataku berkaca-kaca.
Beberapa pasang mata menitikkan air mata. Faiz sesenggukan dengan sapu tangannya yang tak henti mengusap kedua matanya yang mengeluarkan cairan bening. Lisa, Salma juga demikian. Bang Mahmud mencoba tersenyum sambil memandangku.
“tetaplah bersemangat!” mungkin itu arti dari senyumnya. Dan aku menjawabnya dengan anggukan.
            “Kamu sudah nikah, Fik? Tanya mbah Uti yang sedang berbaring di kamar”
            “dhereng mbah, aku belum menemukan yang pas untuk calon pendampingku nanti.”
            “Kenapa? Kamu masih memikirkan dia?” dia? Aku tahu siapa yang dimaksud dengan “dia” oleh mbah Uti. Tapi sejak kapan mbah Uti tahu tentang dia? Ah, mungkin teman-temanku sudah cerita semuanya kepada mbah Uti. Aku diam saja. Aku tak bisa menjawabnya. Hatiku masih terasa sakit jika mengingatnya. Padahal itu sudah berlalu bertahun-tahun lamanya.
            “Aku sudah tak ingin melihat masa lalu yang menyakitkanku, mbah. Ada alasan bahwa seseorang harus segera melupakan kejaran masa lalunya untuk berpindah ke sesuatu yang membuatnya bahagia. Aku tak ingin kebahagiaan bertemu dengan mbah, budhe, saudara-saudara dan teman-teman disini bisa rusak hanya oleh sebuah kenangan yang telah usang, mbah. Aku ingin melangkah maju ke depan mbah. Jikapun mbah menjodohkan aku malam ini dengan perempuan pilihan mbah, meski aku tidak mengenalnya. Aku akan terima dengan ikhlas mbah…
            Mbah Uti akan menemukanku dalam keadaan bahagia, hidup itu berproses seperti apa yang dikatakan almarhum mbah Kung 7 tahun silam. Tidak harus kamu bertahan dalam satu titik yang membelenggumu, merampas kebebasanmu untuk mengecap manis kebahagiaan yang seharusnya layak kamu dapatkan. Masa lalu itu bukan sebuah acuan mutlak untuk menentukan bagaimana kamu harus bahagia, kebahagiaan itu terletak ditempat yang tidak kamu duga sama sekali. kebahagiaan itu bisa muncul dalam diri orang yang menyakitimu.”
            “Aku akan menjodohkanmu dengan seorang perempuan… mbah, budhemu dan kesepakatan teman-temanmu hari ini sebelum kamu datang tadi.”
            “Aku ikhlas mbah, aku akan menerima siapapun itu yang mbah Uti pilih bagiku, karena aku tahu kalian semua sangat menyayangiku. Kalian pasti akan memberikan yang terbaik bagiku dan hidupku.” Mbah Uti tersenyum dengan jawaban dariku, mungkin dengan cara ini aku bisa membahagiakan mereka.
            “Kamu mau kemana?” tanya budhe yang ketika aku mengenakan jaket. Beberapa menit yang lalu, para tamu sudah kembali ke rumahnya masing-masing. Cuma, Faiza menyempatkan diri ngobrol sebentar denganku tadi di ruang keluarga.
            “Aku tidak menyesali semua ini, bang. Kepergian bang Fiki yang secara tiba-tiba, membuat aku tak tahu harus bagaimana saat itu. Aku bingung apa yang harus aku lakukan setelah kepergian bang Fiki, aku mencari info keberadaan bang Fiki ke keluarga, saudara, teman-teman mengenal bang Fiki. Tapi hasilnya nihil. Orang tua Faiza juga sudah menyerahkan segala sesuatunya kepada Faiza. Salah satunya tentang jodoh, mereka percaya kepada Faiza, bang…
            Dan… beberapa bulan yang lalu, Faiza telah bertunangan dengan teman Faiza waktu kuliah dulu. Seandainya bang Fiki muncul sebelum Faiza nikah, tentu Faiza lebih memilih dikhitbah oleh bang Fiki. Tapi…” buru-buru aku hentikan ucapannya. Faiza sesenggukan diantara ucapannya
            “…tenang Faiz, jikapun sekarang kamu sudah dikhitbah oleh lelaki lain, itu pantang bagiku untuk menjalin hubungan serius denganmu. Mengkhitbah diatas khitbahnya orang lain diharamkan oleh Tuhan. Aku memandang berbeda masalah ini, aku malah bersyukur dengan apa yang aku dengar. Dengan seperti ini kamu akan segera menyelamatkan keluargamu dari fitnah, fitnah kenapa kamu belum kunjung menikah. Aku jadi mengerti terhadap takdir Tuhan yang hendak berlaku padaku, Tuhan masih senang mempermainkanku. Dia datangkan mimpi itu, dan sekarang sosok mimpi itu ada dihadapanku namun dia sudah dikhitbah oleh lelaki lain. Kamu jangan merasa bersalah dengan apa yang terjadi padamu, aku berharap kamu menjalaninya dengan sepenuh hati, dengan penuh senyum, penuh keridhoan… tetap bersemangat, tetap kembangkan senyummu, hidup hanya sekali, berbuat baiklah sebanyak-banyaknya…”
            Kenyataan Faiz sudah dikhitbah lelaki lain juga membuatku kecewa, mungkin dia yang akan dijodohkan denganku oleh keluarga dan teman-temanku. Tapi, sebelum dia menyatakan kesanggupannya, dia telah mengatakan semuanya kepadaku. Kecil harapanku untuk tahu dengan siapa aku akan dijodohkan oleh mereka.
            Akhirnya aku memutuskan keluar mengendarai sepeda motor, tanpa tujuan. Yang aku inginkan adalah berkeliling desa dan akhirnya kota ini setelah 5 tahun lamanya aku tinggalkan. Meski rumah nenek berada diantara perbatasan desa dan kota, desa ini masih tetap lestari menjaga lingkungannya. Sejauh mata memandang, sawah membentang dengan luasnya. Hamparan tanaman padi yang hampir menguning kira-kira sebulan lagi bisa dipanen.  Udaranya yang sejuk menerpa wajahku dengan bebasnya.
            Waktu Ashar tiba, aku segera mencari masjid terdekat ditempat yang sepertinya tidak asing ini. Adzan berkumandang dari sebuah masjid yang aku tak tahu dimana persis letaknya. Akupun mengira-ngira lokasi masjidnya berada di sebelah utara. Dan aku baru sadar ini adalah desa Babadan. Oh ya Tuhan… Bagaimana ceritanya aku bisa sampai mengemudikan kendaraanku sampai kesini. Ah, itu dipikir dibelakang, yang penting aku harus menemukan sebuah masjid agar tak ketinggalan shalat jama’ah.
            Aku begitu terkejut ketika mengetahui masjid ini, masjid ini terletak di beberapa ratus meter dari bibir pantai. Pantai Asmara. Ini adalah masjid dimana aku dan Isni sering melaksanakan shalat berjama’ah berdua didalamnya. Itu dulu, dan sekarang beda kisah. Mungkin sekarang dia sedang shalat berjama’ah dengan suami dan anak-anaknya. Mereka bahagia sekarang. Sedangkan aku hanya berdiam disini, mendapati diriku dalam keputusasaan.
Ada yang berasa sakit di hati ini.
            Seusai shalat, aku sempatkan memarkir motorku di dekat warung es Siwalannya mbah Laso dan istrinya mbah Baim. Hey, bagaimana kabar duo sejoli itu ya? Bagaimana kemesraan mereka sejauh ini? Lama banget setelah hari itu aku meninggalkan mereka. Semoga mereka baik-baik saja. Aku berharap saat aku tiba di warungnya mbah Baim akan menyambutku dengan tawanya yang khas, menunjukkan giginya yang tinggal berapa karena hampir setiap hari ada saja giginya yang tanggal dan akan membuatkan minuman es siwalan kesukaanku dengan ditambah sedikit gula aren dari takaran biasanya, lalu buah siwalannya dipotong kecil-kecil dan tidak pakai sedotan. Es Siwalan yang biasa aku pesan. Bukan. Pesanan kami berdua.
            Namun suasana berbeda saat aku melihat siapa yang berada di dalam warung es siwalan itu. Pria paruh baya, dengan kulitnya yang legam, begitu terampilnya membuat es siwalan untuk pembeli yang sudah menunggunya. Aku mencari sosok mbah Laso dan mbah Baim, mungkin mereka berada tak jauh dari warung. Aku masih ingat, disinilah mereka berjualan.
            “Sampean cari siapa mas kok kelihatannya bingung?” suara agak berat dari arah belakangku mengagetkanku.
            “Eh, bapak, itu pak, kok aku tidak melihat mbah Laso dan mbah Baim yang biasanya berjualan di…”
            “Oalaah, mbah Laso dan mbah Baim tho… Mereka sudah 3 tahun ini meninggal. Dan kebetulan sekarang usaha warungnya diteruskan oleh keponakanya yang berasal Kalimantan.” Ujar pria yang hanya memakai sarung dan bertelanjang dada ini.
            Oh ya Tuhan… Disaat aku ingin mengenang dengan orang-orang yang hidup dimasa laluku, malah Engkau memanggilnya, Tuhan. Kenapa Engkau seperti ingin aku tetap menyusun puzzle yang aku tak tahu akan berbentuk apa… Aku duduk dibawah pohon Siwalan yang tinggi menjulang. Ketika aku sadar aku, inilah prasasti cinta yang pernah kami buat, aku bangun dan genggam butiran pasir itu erat-erat!
            “… suatu saat nanti saat kita tua nanti, kita akan membangun rumah didekat bibir pantai, dan disinilah kita akan senantiasa melihat prasasti cinta kita, seperti cintanya mbah Baim kepada mbah Laso.”
            “Didalam rumah kita, cuma ada 1 kamar tidur, kamar tidur kita”
            “Anak-anak kita nanti bagaimana kalau menginap?”
            “Kita akan membeli tenda yang besar lalu kita mendirikan tenda didepan rumah sambil menikmati hembusan angin membawa kapal-kapal nelayan mengarungi lautan”
            “Dan tak lupa, kita akan membeli tangkapan ikan dari nelayan dan membakarnya dengan api unggun bersama anak dan cucu-cucu kita nanti…”
            “eiiit, ada yang lupa, yang…”
            “Apa itu?”
            “Nasi Ayam Kare, kesukaanku jangan dilupakan lho… Pasti nanti gag bisa masak kare ayam, ya?”
            “hehehe… belum kalau sekarang, kalau nanti kita menikah aku jamin, setiap kamu meminta menu kare ayam, aku akan menyiapkannya penuh dengan cinta padamu…”
            “terima kasih, sayang…”
             Aku selalu tak berdaya mengingat masa lalu… aku bersandar dibawah pohon aren ini dengan kepasrahan yang amat sangat. Cinta yang dulu aku tanam dengan dan akhirnya mati masih membekas begitu kuat. Apakah ini adil, Tuhan? Setelah bertahun lamanya Engkau memberi derita padaku, kapankah Engkau akan memberi kebahagiaan itu padaku…
            “Es Siwalannya gula arennya ditambah takaran gula arennya, buah siwalannya dipotong kecil-kecil, lalu tidak pakai sedotan”
            Aku terkejut dengan suara itu, ya suara itu, aku sangat mengenalnya, meski bertahun-tahun lamanya aku suaranya masih sama. Apakah aku mendegarkan suara masa lalu? Aku bangkit memastikan bahwa aku tidak sedang berhalusinasi karena aku merasa sudah terjangkit penyakit kurang waras. Aku bangkit dengan segera, tapi aku mendapati aku hanya sendiri disini… berdiri di hamparan pasir tanpa seorang yang berada didekatku.
Benar kiranya, psikologisku terganggu, dengan muka gelisah aku seperti orang kebingungan. Wajahku berkeringat. Apakah segitu parahnya penyakit cinta ini? Oh Tuhan… sampai hari inipun Engkau masih mempermainkanku..
Apakah aku sudah gila?
“Kamu tidak gila… aku disini selalu untukmu…” jawab suara perempuan itu. Seolah tahu isi hatiku... Seolah tahu apa yang aku katakan. Aku tutup kedua telingaku… aku berjongkok, aku takut kegilaanku akan membuatku jatuh tak sadarkan diri.
“Fikiiiiiiiiiii… “ suara itu nyaring terdengar dari belakangku. Sekuat aku menutup kedua telingaku sekuat itulah suara itu berusaha mempengaruhi pikiranku. Aku masih tak percaya aku akan dihantui oleh halusinasi ini.
“Bukalah kedua matamu, lihatlah aku ada disini…” suara halusinasi itu mencoba mempengaruhiku, aku tak boleh kalah.
Aku mendengar tidak hanya suaranya, ada beberapa suara yang memanggilku, dan aku sangat mengenalnya, mbah Uti. Aku langsung berdiri dan menoleh ke belakangku. Sekitar 100 meter tempat mereka dari aku berdiri. Itu mbah Uti, budhe.. dan teman-teman kantor. Kenapa mereka bisa tahu aku ada disini. dan ada apa mereka kesini… dan aku lebih terkejut dengan sosok perempuan berjilbab biru yang berada disamping mbah Uti. Aku sangat mengenalnya. Wajah itu tak asing lagi bagiku. Dia lambaikan tangannya. Dia menangis, air matanya tumpah…
Aku tak bisa tersenyum atau apapun itu, aku hanya tak percaya dengan apa yang aku lihat…
Apakah aku sedang bermimpi, jika memang ini adalah sebuah mimpi aku berharap Tuhan tak segera membangunkanku darinya untuk hidup menjalani realita yang menyakitkanku…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ini Ceritaku Hari Ini. Update

Ponorogo Punya Cerita (19 Desember 2014)

Cinta Dalam Diam ; Romantisme Cinta Ala Ali Bin Abi Thalib dan Fatimah